catatan hati

Friday, March 9, 2007

GONG XI FA CHAI IN MALAYSIA

GONG XI FA CHAI IN MALAYSIA

Oleh; Silfia Hanani

Malaysia merupakan sebuah negara modern di Asia Tenggara dan dihuni oleh menimal tiga etnis dominan, Melayu, China dan India. Ketiga-tiga etnis ini memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda-beda. Satu hal yang tidak dapat dinafikan dan disanggah dalam perbedaan itu adalah, bahwa etnis Melayu merupakan etnis pribumi Malaysia. Etnis Cina dan India merupakan etnis pendatang yang di bawa oleh penjajahan Inggris sebagai pekerja diperkebunan dan pertambangan di tanah Melayu untuk memperlancar eksplotasinya.
Proses pendatangan etnis Cina dan India yang dilakukan oleh penjajah tersebut, pada kenyataannya telah membawa sejarah baru bagi pertambahan penduduk di Malaysia, sehingga sampai sekarang tanah Melayu tidak lagi duhuni oleh orang Melayu sendiri tetapi juga oleh dua etnis tersebut.
Secara politis, ekonomi dan budaya ketiga-tiga etnis tersebut telah mengisis sejarah Melaysia dengan corak dan warna yang kompleks dan heterogen. Keheterogenan itu semakain nampak dan jalas semenjak Mahathir memperluas ruang gerak perekonomian Malaysia dengan meluncurkan berbagai “mega” proyek pembangunan. Dari pembangunan berbasis pertanian menuju perekonomian pasar yang mendorong berkembangnya penguasaan-penguasaan pasar global.
Tetapi sayang, dibalik pendongkrakkan ekonomi tersebut ada sejenis kelupaan yang terjadi dalam pemerintahan Malaysia. Lupa mempersiapkan kemandirian ekonomi orang Melayu memasuki dunia pasar. Lupa merubah image orang Melayu pemalas dan menaruh mental ketergantungan yang tinggi. Kelupaan ini, telah membuat orang Melayu “kalah” bersaing dari segi ekonomi jika dibandingkan dengan etnis China.
Etnis China, melangkah dengan maju menyusun ekonomi pasar, sehingga tidak mengherankan pasar di kuasai oleh etnis tersebut di Malaysia. Etnis China menjadi penentu ruang gerak kecepatan ekonomi pasar. Perekonomian Kuala Lumpur, hampir dikuasai oleh etnis bermata sipit ini.
Lihat saja misalnya, pusat perbelanjaan seperti kawasan Sungei Wang, KLCC, dan sebagainya hampir menjadi wilayah kekuasaan ekonomi etnis China. Sedangkan etnis India mempunyai wilayah kekuasaan pasar disekitar area Masjid India. Lantas orang Melayu di mana? Paling-paling orang Melayu menyibukkan diri di pasar-pasar tradisional. Dengan kasat mata pun dapat dilihat, Kuala Lumpur sebagai ibu kota Malaysia memang sangat jarang orang Melayu mengambil bahagian sebagai pemain ekonomi. Hampir semuanya etnis China merejalelai.
Keberkuasaan China ini dapat dilihat melalui fenomena yang sederhana saja, seperti mengamati fenomena berlangsungnya peringatan tahun baru China di Malaysia atau disebut juga dengan hari “ gong xi fa chai” yang berlangsung pada tanggal 18-19 bulan ini.
Akibat perayaan gong xi fa chai ini, Kuala Lumpur hampir seperti kota mati dari perdagangan. Toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan banyak yang tutup, karena China sebagai pemiliknya merayakan secara khitmat pertukaran tahun tersebut. Kesepian disetiap pusat perbelanjaan sangat ketara sekali.
Tapi di sisi lain, nuansa peringatan penyebutan tahun baru itu terasa membawa Kuala Lumpur kedalam alam budaya China, kerena semua dimensi dan ikon-ikon ke Chinaan bangkit mengukir “alam” Kuala Lumpur. Warna merah (hong) mendominasi ruang Kuala Lumpur, tulisan-tulisan (karakter) China “Selamat Tahun Baru China” bertebaran di mana-mana. Sangat meriah, daripada hari raya idul fitri, begitulah Kuala Lumpur dalam hangar bingar penyambutan tahun baru China.
Namun, di balik fenomena tersebut tersirat sebuah “kekalahan” orang Melayu dalam menata Kuala Lumpur, baik dari segi ekonomi maupun dari segi budaya. Dari segi ekonomi, Etnis China menjadi ikon elete ekonomi di Kualia Lumpur yang tidak dapat ditandingi oleh etnis Melayu dan India. Orang-orang Melayu pada umumnya menjadi korban konsumerisme dalam peradaban ekonomi yang diciptakan oleh etnis China di Malaysia.
Di Kuala Lumpur posisi orang Melayu entah di mana? Dari segi budaya pula Kuala Lumpur sebagai kota metropolitan telah hilang dari identitas ke Melayuannya kerena telah membumi budaya China. Budaya Melayu cuma terapresiasi disebalik “baju kurung Melayu” yang dipakai oleh perempuan-perempuan Melayu yang masih mempertahankan tradisinya.
Dari reputasi ekonomi dan budaya China yang wujud di Kuala Lumpur, memang belum menjadi perhatian dan pembahasan yang mendalam, karena pemerintahan Malaysia sangat menjaga image hidup kedinamisan Malaysia dalam berbagai “puak” atau etnis. Namun, tanpa di sadari dibalik penjagaan image yang demikian sebenarnya telah terjadi atau berlaku suatu perubahan besar dalam dunia Melayu Kuala Lumpur.
Jangan-jangan proses perubahan yang terjadi di Kula Lumpur ini, sebagai sebuah proses yang hampir mirip dengan orang Melayu di Singapura. Proses evolutif peminggiran yang tanpa disadari oleh orang Melayu ditengah eforia “kemanjaan” yang diberikan oleh pemerintahan.
Di Singapura keterpinggiran orang Melayu tidak saja disebabkan oleh sikap-mentaliti orang Melayu itu tetapi juga ada indikasi politik kekuasaan meminggirkannya sebagaimana di jabarkan oleh Liliy Zubaidah Rahim dalam bukunya The Singapore Dilemma- The Political and Educational Marginality of the Malay Community. Politik peminggiran yang dilakukan oleh pemerintah pada hakikatnya telah terjadi “penandusan” orang Melayu di Singapura. Tandus dari segi ekonomi, pendidikan dan budaya menyebabkan orang Melayu tidak mampu bersaing dengan etnis China, akhirnya terdampar ke pinggiran. Akhirnya negara yang berlambang singa ini betul-betul telah menghilangkan jejak ke Melayu-an. Orang-orang China telah membangun peradaban dengan kekuatan politik dan ekonomi yang rekonstruksinya.
Di Malaysia, siapa sesungguhnya yang menanduskan? Mungkin jargon Budaya Melayu Pemalas dapat dijadikan satu pendekatan. Kekalahan orang Melayu di Kuala Lumpur membangun ekonomi ada benarnya juga berpangkal daripada sentilan jargon tersebut. Orang Melayu kurang gesit, cepat menyerah dan cepat berpuas diri, barangkali budaya tersebut sebagai sebuah sumbu simetris yang membuatkan mereka terpinggir. Kekuatan dan kegesitan yang dilakukan oleh etnis China dalam membangun ekonomi tidak tersaiangi oleh orang Melayu.

2 comments:

Pandu Pranawijaya said...

artikel bagus, boleh kenalkan???
kapan pulangkampuang????

SETETES EMBUN said...

mohon doa nya pak, mudah2 pulang secepatnya!!!