catatan hati

Saturday, March 10, 2007

AGAMA, NEGARA DAN KEKUASAAN

AGAMA, NEGARA DAN KEKUASAAN

Oleh: Silfia Hanani


Saat sekarang perdebatan masalah agama dan negara kembali menghangat dan mencuat kepermukaan. Ada bebera tanggapan dan pendapat yang berkaitan dengan agama dan negara ini. Terutama yang berkaitan dengan ketika negara melakukan kebijakan atau pengaturan terhadap agama masyarakat. Ada tanggapan pro dan kontra. Pertama muncul tanggapan yang menyatakan bahwa negara tidak berhak mengatur agama masyarakatnya. Pendapat ini berlandaskan pada bahwa masalah agama merupakan masalah individu. Jadi negara tidak perlu mengatur agama masyarakat. Secara radikal kemudian berkembang isu, jika negara mengatur agama individu, maka sama halnya negara mengekang hak asasi manusia. Pengertian dan pemaknaan di sini dapat ditangkap bahwa agama adalah masalah wilayah individu, hak asasi manusia. Di negara-negara liberal, atau negara-negara penganut demokrasi liberal, konsep ini nampak diamalkan. Masalah agama sudah diserahkan sepenuhnya kepada individu yang bersangkutan.
Kedua, tanggapan konservatif. Tanggapan yang konsisten menyatakan bahwa negara mengatur wilayah agama masyarakatnya. Antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan, sehingga agama masyarakat mesti diatur oleh negara. Biasanya negara-negara teograsi berada dalam ranah ini.
Ketiga, pendapat relativisme yaitu tanggapan yang mengambil jalan tengah antara kebebasan dengan konservatif. Pada satu sisi negara mengatur agama masyakatnya, tetapi tidak memberikan ketegasan dalam pelaksanaan agama tersebut. Mungkin jika melihat sampai har ini, Indonesia berada dalam kerangka yang ke tiga ini. Dimana negara mengharuskan masyarakatnya memeluk salah satu agama dan mesti itu tercantum dalam lisensi (KTP), tetapi bagaimana umat tersebut mengamalkan agamanya terserah padanya. Itu ditentukan dan tanggungjawab daripada penganut agama atau “elite” agama masing-masing.
Untuk memetakan mana yang terbaik diantara ke tiga pandangan di atas, tentu sangat sulit. Pertama kesulitan itu muncul seiring menguatnya gerakan “pembebesan” hak-hak individu yang terjadi di Barat. Menyatakan bahawa masalah agama adalah masalah individu masyarakat. Kedua pada satu sisi agama tidak terakumulasi satu saja di dunia ini. Dunia dibangun oleh banyak agama, sehingga negara mempunyai kesulitan untuk mempunyai aturan yang tegas masalah keyakinan ini.
Namun, yang perlu dipahami dalam konteks ini adalah, bagaimana pun juga negara mesti mempunyai tanggungjawab mengatur masyarakat-rakyatnya, oleh sebab itu negara harus mampu membuat kebijakan yang dapat diterima oleh masing-masing umat beragama. Mungkin inilah yang dinamakan demokrasi beragama.

Agama, Revolusi dan Kebangkitan Sosial

Sebagaimana telah diulas, bahwa agama mempunyai pengaruh terhadap dunia sosial, peradaban dan tindakan manusia penganutnya. Di Barat, khususnya munculnya zaman pencerahan enlightenment merupakan sebuah sepak terjang setelah adanya keberanian untuk menentang “otoritas” gereja dalam keilmuan, pemikiran dan dunia sosial. Kemudian modernisasi pada abad ke-18 yang ditandai dengan terjadinya revlusi Industri di Inggris.
Kemudian tidak dapat pula disangkal, kemajuan ini muncul sebagai bentuk reformasi dibidang agama yang terjadi di Barat, seperti yang dilakukan oleh agama Kristen Protestan dan tidak disangkal pula, adanya peran kemajuan umat Islam sebelumnya, sehingga di Barat muncul kebangkitan sosial dan ilmu pengetahuan besar-besaran. Kebangkitan itu, juga berlaku dalam politik, pendidikan, adminstrasi, budaya dan seterusnya.
Setidaknya yang mendorong kebangkitan-kebangkitan sosial di Barat ini, tidak terlepas daripada pertama revolusi di bidang agama-Khatolik pecah menjadi Protestan. Kemudian adanya kebebasan intelektual membangun ilmu pengetahuan.
Di dunia Islam, revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979 merupakan salah satu bentuk revolusi yang digerakan oleh mesin-mesin “ajaran agama Islam”. Kelompok gerakan Islam, seperti dipelopori Ayatullah Khomeini telah berhasil merubah kekuasaan negara di Iran. Otoritas raja yang otoriter telah dibongkar oleh revolusi Iran, dengan melahirkan Republik Islam Iran. Oleh pengamat politik Barat, revolusi Iran ini dianggap sebagai sebuah kebangkitan di dunia Timur. Kebangkitan politik yang mengejutkan dan sangat dicengangkan oleh Amerika.

Ayatollah Ruhollah Khomeini, pelopor daripada revolusi di Iran pada tahun 1979. Revolusi di Iran di sokong oleh gerakan-gerakan Islam. Revolusi Iran, pada asas menumbangkan kekuasaan sah, atau raja yang otoriter dan diktator di bawah bayang-bayang kekuasaan Amerikan. Oleh sebab itu agama tidak dapat pula disangkal dapat melahirkan revolusi.

Imam Khomeini

Belakangan muncul pula gerakan fundamentalisme, malahan semenjak terjadinya tragedi 11 September 2001, pembaktisan gedung simbol digdaya Amerika Serikat World Trade Center. Maka sebutan terhadap Fundamental dan Teorisme menjadi semakin senter. Sayang kedua sebutan itu di dekatkan pada “agama”. Pada awalnya fundalisme memang dipakai oleh orang Protestan di Amerika Serikat pada abad ke-19. Sebuah pergerakan konservatif, yang menekankan kembali memegang teguh ajaran injil atau ajaran kritus. Namun, pekerkataan fundamentalisme melebar sehingga sampai pada mencitraan pada umat Islam, dengan sebutan Islam fundamental.
Dapat ditangkap, Islam fundamental bermakna gerakan konservatis daripada orang Islam yang menekankan pada penegakaan ajaran Islam secara keras dan tegas, atau dikenal juga dengan sebutan “radikal”.
Pergerakannya yang radikal ini menjelma dalam bentuk terorisme, sebagaimana berpuncak pada tragedi 11 Septembe 2001. Kemudian, setelah itu pencitraan terhadap Islam fundamental dibentuk oleh Barat sebagai “agent” terorisme.
Yang terpenting dalam konteks ini adalah, agama apapun, Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lainnya dapat menjadi inspirasi perubahan. Tergantung pada bagaimana penganut agama tersebut mengintrepertasikan ajaran agama, kedalam sebuah pergerakan terjadi dalam berbagai macam, mulai dari bentuk yang lunak sampai pada radikal.
Dalam konteks lokal, juga dapat ditangkap bahwa pergerakan-pegerakan kemerdekaan pada umumnya banyak dimotori oleh organisasi-organisasi keagamaan. Seperti di Minangkabau, gerakan kaum Paderi pimpinan Imam Bonjol, kemudian menjadi cikal bakal gerakan nasional perjuangan Indonesia. Gerakan Paderi, adalah sebuah gerakan keagamaan yang kemudian membangun kekuatan untuk menentang kaum penjajah.
Kemudian, dalam konteks sekarang ini di aras lokal terjadi kebangkitan agama. Misalnya di Sumatera Barat, dengan kembali pada pemerintahan nagari, diperkokoh kembali konsep adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Diikuti dengan atribut-atribut lainnya, seperti wajib pakai jilbab bagi perempuan. Kemudian di Aceh diberlakukan Syariat Islam, di NTB terdengar pula kota sebutan seribu masjid dan lainnya.
Adanya kebangkitan-kebangkitan Islam, dalam masyarakat lokal ini dapat dipahami, bahwa adanya semangat perujukan agama sebagai penggerak sosial masyarakat lokal era sekarang ini. Sekaligus, untuk membangun identiti keagamaan dalam masing-masing masyarakat lokal terebut.

Agama, Kekuasaan dan “Politisasi Agama”

Agama sesuatu yang “suci” dan sangat memainkan peranan dalam perubahan sosial, pada kenyataannya agama juga dapat menjadi “alat” daripada kekuasaan untuk membangun kekuatan. Agama dijadikan “alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan sebagainya sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti ini, sering dinamakan dengan “politisasi agama”. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan “tumbal” oleh kekuasaan.
Elite-elite agama menjadi “kaki tangan” kekuasaan untuk melegakan keinginan daripada kekuasaan. Hasan Hanafi sehubungan dengan ini, mengulasnya dengan cermat dalam buku Human Al-Fikr Al-Watan di alihbahasa ke Indonesia menjadi Oposisi Pasca Tradisi. Dalam ulasannya mengenai masalah kekuasaan ini, Hanafi menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominant menjadikan agama sebagai “alat” kekuasaan. Selanjutnya dijelaskan Hanaifi:

…negara menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi itu negara menjadi kuat, mampu menguasai gerakan sosial dan dapat mengawasi persekongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat untuk tidak memunculkan tradisi tersebut dan berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Tokoh-tokoh agama mengkodifikasi tradisi negara dan negara memasukan tokoh-tokoh oposisi ke dalam penjara. Negara memberikan kepada tokoh agama yang pro tradisi dengan jebatan-jabatan keagamaan...kemudian menuduh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan negara sebagai kelompok kafir, atheis, zindiq...(Hanafi.2003:2)

Elite-elite agama sengaja “dijinakkan” oleh negara atau pemerintah yang berkuasa dengan tujuan dapat mendukung keinginan-keinginan rancangan-rancangan yang telah dipersiapkan oleh pemerintah. Pada masa era orde baru kondisi seperti ini, nampaknya juga pernah berlaku, dimana elite-elite agama yang mampu mendukung tradisi pemerintahan dipelihara dengan pemberia jabatan dan penghormatan-penghormatan yang tinggi, sedangkan yang berseberangan sering disisihkan malahan malahan dituduh sebagai “pembangkang”.
Dalam konteks ini, nampak pula sebuah fenomena yang distorsi. Dimana agama juga dapat dipermainakn oleh negara atau kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan dalam konteks ini, memanfaatkan elite-elite agama sabegai agent komunikatif pada masyarakat. Justifikasi-jastifikasi yang diberikan oleh elite-elite agama tentu sangat berpotensi dalam mengamankan kekuasaan daripada kritikan, pembangkangan daripada masyarakat.
Di Thailand pada tahun 1960 Panglima Tertinggi Sarit Thanarat, pernah membuat politiasasi agama Budaha dengan mengintruksikan kepada seluruh pendeta Budha untuk tidak mengkhotbahi nilai-nilai kepuasan hati sesuai dengan ajaran Budha. Tujuannya adalah, supaya kekuasaan Sarit Thanarat dapat berjalan sekehendak hati kekuasaan. Dimana waktu itu moto pemerintahannya adalah “bekerja untuk uang, uang adalah kerja, kebahagian menjadi mungkin.” Kemudian seiring dengan itu, institusi-institusi tradisionalnya perannya diambil alih oleh lembaga-lembaga sekuler.
Politisasi-politisasi agama kedalam ranah kekuasaan ini, menjadi agama kekurangan makna bagi umatnya. Agama dikendalikan untuk kepentingan kekuasaan, semestinya agamalah yang mengendalikan kekuasaan tersebut. Fenomena-fenomena seperti ini sering terjadi dalam kekuasaan-kekuasaan, sehingga agama menjadi alat pembenaran kekuasaan.
Politisasi agama ini kadang-kadang membuat pemisahan-pemisahan ajaran agama dengan kegiatan manusia. Agama dianggap sebagai wilayah individu yang berjurang dengan ruang gerak sosial. Agama berjurang dengan negara, institusi-institusi negara dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga wilayah agama betul-betul menjadi wilayah privat dan tidak menyentuh wilayah publik. Makanya fenomena-fenomena sosial yang kita lihat penuh dengan kegiatan-kegiatan yang kontroversi dengan ajaran agama.

No comments: