catatan hati

Tuesday, April 8, 2008

MEMBERDAYAKAN MASJID

Merekonstruksi Masjid demi Mencerdaskan Umat

Oleh: Silfia Hanani

Kita sudah sangat merasakan kemunduran peranan masjid dalam menyelesaikan permasalahan sosial keagamaan. Masjid yang begitu banyak kita bangun hanya sebagai simbol ketimbang menjadi sarana untuk membangun umat.
Bahkan, peranan masjid begitu jauh terasing dari masalah umat. Jika dilihat dari data statistik Departemen Agama, pada 1997-2004 ada peningkatan jumlah masjid sampai 64 persen, dari 392.044 menjadi 643.834 buah. Rumah ibadah tersebut berada di tengah-tengah 182.083.594 jiwa umat Islam Indonesia.
Perbandingan rumah ibadah dengan jumlah umat tersebut rasanya cukup representatif. Tetapi, kenyataannya peranan rumah ibadah belum signifikan dalam mengakses permasalahan umatnya. Lemahnya peranan rumah ibadah dalam mengakses permasalahan umat memperpanjang catatan sosial keagamaan umat Islam yang buruk di negeri ini. Catatan sosial yang buruk itu dapat kita simak dari potret kemiskinan umat, budaya fatalisme, dan keterbelakangan sumber daya manusia.
Kelemahan akses rumah ibadah terhadap masalah umat dipengaruhi oleh peranan rumah ibadah yang lebih dominan direkonstruksi sebagai institusi ibadah mahdhah ketimbang ibadah ghairu mahdhah. Oleh sebab itu, keberadaan masjid sebagai sarana tempat penyelenggaraan shalat dan peranan pemberdayaan umatnya tertinggal.
Di samping itu, masjid juga lebih banyak dijadikan ajang pergumulan retorika dakwah yang tidak membumi. Malahan, dangkal dari pesan-pesan agama yang dapat meningkatkan kemampuan umat. Dalam konteks ini, kita perlu menghayati pernyataan Daniel Bell dalam The End of Ideology (1960). Dia menyatakan pesan-pesan agama yang tidak mampu menyelesaikan persoalan umat akan menjadikan agama tersebut sebagai fosil yang disimpan dalam rumah kaca.
Semestinya rumah ibadah yang begitu banyak kita miliki itu menjadi aset dalam membangun umat. Sayang, kita belum memotensikannya secara maksimal. Jika kita lihat dari sejarah peradaban Islam, baik ketika era Rasulullah maupun pada era keemasan Islam di Andalusia (Spanyol), peranan masjid begitu luas.
Masjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyelenggaraan shalat, tetapi juga menjadi institusi sosial yang berperan dalam membangun pendidikan, ekonomi, dan politik umat. Oleh sebab itu, keberadaan masjid pada era Rasulullah lebih tepat dikatakan sebagai institusi yang membangun peradaban umat Islam yang modern.
Pada era kejayaan Islam di Andalusia, masjid direkonstruksi sebagai pusat pendidikan. Masjid menjadi basis bagi kaum intelektual dalam membangun kepakarannya karena masjid pada era itu dilengkapi dengan perpustakaan yang dapat diakses oleh umat. Malahan, tidak mengherankan kemajuan yang dicapai oleh Islam di Andalusia ini sangat dipengaruhi oleh peranan masjid yang berfasilitas pendidikan tersebut.
Kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut telah mengubah wajah peradaban Andalusia. Di samping itu, membaca biografi dari ilmuwan-ilmuwan Islam, ternyata banyak yang membangun kepakarannya dari masjid. Serambi-serambi masjid telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam, seperti Ibnu Rusy dan Ibnu Sina. Kedua ilmuwan ini menurut catatan biografinya banyak menghabiskan waktu dengan membaca di perpustakaan masjid yang ada pada era mereka.
Krisis peranan masjid perlu dicermati sehingga masjid tidak menjadi saksi bisu dalam ingar-bingar perubahan sosial umatnya. Masjid perlu dilihat kembali sebagai agen transformasi umat dengan memperluas peranan dan fungsinya yang tidak lagi sebatas serambi shaf-shaf shalat yang kosong tanpa jemaah.
Sudah saatnya masjid direkonstruksi sebagai institusi agama yang modern yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dapat memberdayakan umat dan tidak lagi sekadar sebagai sarana penyelenggara shalat. Oleh sebab itu, pengelolaan masjid memerlukan manajemen yang profesional dan mempunyai kegiatan yang inovatif.
Masjid sudah sangat penting dijadikan sebagai institusi agama yang profesional. Bahkan, di Malaysia masjid telah dilengkapi dengan sambungan internet tanpa kabel dan gratis diakses oleh jamaah sehingga masjid tidak lagi dikunjungi ketika waktu shalat. Tetapi, dijadikan sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan bahkan tempat berkreasi.
Antara masjid dan teknologi modern tidak terpisah, tetapi dapat berkolaborasi dalam membangun umat yang melek pengetahuan. Sekaligus hal ini akan dapat menghapus stigma keterpisahan ajaran agama dengan dunia modern.
Mungkin di Indonesia kita perlu menginovasi masjid untuk menumbuhkan semangat baca dengan mendirikan perpustakaan masjid yang dapat diakses oleh umat. Masalahnya, sarana-sarana yang menumbuhkan minat baca sangat minim. Dengan demikian, tidak heran masyarakat kita mempunyai minat baca yang rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Semangat membaca kita masih tertinggal dari negara tetangga Singapura dan Malaysia. Bahkan, mereka melek internet. Mereka melewati permasalahan tersebut dan sekarang berupaya memberdayakan masyarakat yang sadar internet.
Masjid yang tersebar di tengah-tengah umat Islam ini sudah harus mengambil peranan sebagai sarana untuk mengatasi keterbelakangan umat dan harus dipikirkan sebagai basis gerakan membaca, seperti yang diperintahkan Alquran dalam Surat Al-Alaq. Peranan ini sangat penting direkonstruksi oleh masjid, bahkan sudah sangat mendesak.
Perpustakaan perlu menjadi bagian penting di masjid. Masjid akan menjadi salah satu jembatan bagi umat dalam memanifestasikan hadis Rasulullah: Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat. Andaikan setengah saja masjid ada di Indonesia ini efektif, tentu membantu membangun umat. Masalahnya, rendahnya minat baca di negeri ini dipengaruhi oleh keterbatasan sarana yang tersedia dan tidak teraksesnya perpustakaan negara oleh banyak orang.
Dengan perpustakaan masjid, permasalahan itu secara bertahap dapat dicairkan. Sudah saatnya rumah ibadah dijadikan pusat pencerdasan umat, baik pencerdasan eksetorik maupun esetorik. Usaha seperti ini juga pernah terjadi pada era Khalifah al-Makmum dengan merekonstruksi masjid yang tidak terpisah dengan perpustakaan.

No comments: