catatan hati

Sunday, March 22, 2009

WARNA KEMINANGKABAUAN DALAM PUISI...


Pada tanggal 14 Februari 2009, saya menyampaikan makalah tentang sastra di Fakulti Bahasa Moden dan komunikasi Universiti Putra Malaysia dalam rangka "Dharmawijaya Dalam Kenangan".

Saya menyigi tentang "Warna Keminangkabuan Dalam Puisi Dharmawijaya". Saya menumukan minimal tiga identitas sastra Minangkabau ini. Silakan baca lebih detaik makalah lengkap saya.


Pengenalan

Lingkungan sosial-budaya mempunyai pengaruh yang cukup kuat membentuk watak sesorang. Hal ini sudah menjadi pusat perhatian dari kajian psikogi dan sosiologi-antropologi semenjak awal kedua ilmu itu ditubuhkan. Ada kesepakatan dan kesepahaman dari kedua ilmu tersebut, yang menyatakan lingkungan sosial-budaya merupakan pembentuk tindakan dan watak dari seseorang. Kajian psikologi tentang ini dapat dilihat dalam kajian Freud dan dalam sosiologi-antropologi dapat dilihat dalam kajian para sosilogi-antropologi Mikro.

Begitu pula dengan dunia sastera. Ada keterkaitan sosial-budaya dengan hasil karya yang dibuat oleh seorang aktivis sastera. Ertinya, ada pembentukan watak dan style karya yang dipengaruhi oleh kedinamikan sosial-budaya yang membentuk aktivis sastera tersebut. Oleh sebab itu tidak menghairankan semangat kedaerahan akan mewarnai hasil karya aktivis sastera, kerana daerah adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari sosial-budaya itu sendiri. Keadaan ini berlaku juga di Malaysia. Aktivis-aktivis sastera juga membawa semangat kedaerahannya. Di antaranya terlihat dari aktivis sastera yang mempunyai hubungan dengan Minangkabau, mereka sering membawa semengat keminangkabauan dalam karya-karyanya. Hal ini pernah dilacak oleh Ahmad Kamal Abdullah ketika menyigi karya sastera Firdaus Abdullah. ”...bagi sesesiapa yang mengikuti perkembangan dalam tiap-tiap cabang kegiatan Firdaus Abdullah, ia terlihat tetap membawa semangat daerahnya atau keminangkabauannya. Tidak hanya Firdaus Abdullah saja, bahkan penyair seperti seperti Latiff Mohiddin, A. Wahab Ali, Dharmawijaya, Sutan Shahrir Lembang, A. Gafar Ibrahim dan Siti Zainon Ismail tidak menanggalkan akar kedaerahaannya di Minangkabau” (Ahmad Kamal Abdullah, 1987).

Semangat tersebut tidak hanya berlaku di kalangan aktivis sastera yang tua, tetapi bahkan juga terlihat di kalangan aktivis sastera muda. Hal ini dapat dilacak atau ditelusuri dari perkumpulan sastera Negeri Sembilan dan beberapa anak muda penggiat sastera. Kedaerahaan mereka masih lengket dan masih terlihat mewarnai identitinya.

Minamal ada tiga simbol keminangkabauan dalam karya sastera daripada aktivis sastera, iaitu kritik sosial, pendekatan alam dan Tuhan. Ketiga-tiga hal ini, merupakan dasar falsafah dari etnik Minangkabau yang terangkum dalam adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, alam takambang jadi guru. Falsafah ini disosialisasikan mulai dari level institusi keluarga. Impaknya menjadikan adat, agama dan berguru kepada alam menjadi bahagian yang tidak terpisahkan bagi mereka yang berketurunan Minangkabau.

Di Minangkabau Sumatera Barat, tiga kekuatan itu sangat terlihat dengan kuat dalam karya sastera Hamka, AA. Navis, Marah Rusli dan sasterawan Minangkabau yang lainnya. Di kalangan penyair, kekuatan itu dapat dilihat dari kepenyairan Taufik Ismail, Rusli Marzuki Saria dan seterusnya. Dikalangan sesterawan dan penyair muda mungkin dapat diwakili oleh Gus TF Sakai, Iyut Fitra, Yusrizal KW dan seterusnya.

Di samping itu, tidak dapat dinafikan pula menjamurnya lahir aktivis sastera dari daerah Minangkabau, baik di Minangkabau Malaysia mahupun di Minangkabau Sumatera Barat Indonesia, seolah-olah ada pendorong dari daerah ini untuk menghasilkan sasterawan. Bahkan tidak berlebihan, Minangkabau merupakan pabrik atau kilang sasterawan dan penyair.

Secara historis dan sosial budaya, tradisi Minangkabau memang sangat mendukung lahirnya sasterawan dan penyair. Hal ini dimungkinkan kerana tradisi sastra lisan yang berkembang pesat di Minangkabau. Mulai dari tambo[1] (perihal keminangkabuan) sampai pada tradisi maota[2] (berbual) di Minangkabau merupakan tradisi lisan yang sudah mengakar di dalam masyarakatnya. Tradisi seni tersebut yang ikut mendukung kelahiran sasterawan di dalam suku bangsa ini.

Tradisi bahasa lisan berkembang menjadi kesenian dan dikuatkan oleh pepatah nan kuriak adalah kundi, nan merah adalah saga, nan baik adalah budi dan nan indah adalah bahasa. Hal membangun kebiasaan bersastera dan memperkuat kepenyairan di Minangkabau. Ertinya tradisi memberikan media atau sarana yang signifikan untuk mengembangkan jiwa dan nilai-nilai seni.

Membaca Keminangkabauan Puisi Dharmawijaya
Dr. Kamaruzzaman Abdul Kadir atau lebih popular dengan nama Dharmawijaya, merupakan salah satu penyair Malaysia yang tersohor dan terkenal. Pernah mendapatkan pelbagai penghargaan dan hadiah, dari karya-karyanya yang berkualiti dan indah. Di antara penghargaan yang diperoleh Dharmawijaya adalah Hadiah Karya Sastera pada 1971 dan 1976 dalam bidang puisi; Hadiah Sastera Malaysia bagi tahun 1982/83 (puisi), SEA Write Award di Bangkok, Thailand pada tahun 1993, anugerah penyair GAPENA pada tahun 1999 dan anugerah pujangga, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) pada tahun 2002 dan Anugerah Sastera Negeri Sembilan 2005.

Dharmawijaya dilahirkan Kampung Talang, Tanjung Ipoh, Kuala Pilah. Berdasarkan daerah kelahiran ini ada dasar semangat keminangkabauan yang dapat dilacak dari Dharmawijaya. Bahkan kekuatan identiti karya-karya Dharmawijaya dapat dijadikan landasan kuat untuk menunjukkan semangat ke-minangkabu-an yang wujud. Karya-karya Dharmawijaya di antaranya adalah; Puisi Melayu Moden 1933-1957 (1982) yang turut memenangi Hadiah Sastera Malaysia 1982/83 dalam bahagian buku kajian sastera moden terbaik; Tanggapan dan Kaedah Pengajaran Puisi (1987); Berkenalan Puisi (1987), Pemahaman dan Penghayatan Puisi (1992) serta Dunia Puisi Dalam Penelitian dan Pengajaran (1992) dan edisi yang sama dikemaskini pada 1998. Tiga buah kumpulan pusi persendiriannya iaitu Warna Maya (1974), Derita Buana (1992) dan Jejak Kembara (1999). Di samping itu Dharmawijaya penyusun antologi puisi Di Penjuru Matamu (1975) dan Bunga Gerimis (1986) yang pernah menjadi buku teks Kesusateraan Melayu di sekolah-sekolah menengah; Lagu Kehidupan (1983), Bintang Mengerdip (1984), Puisi Sepanjang Zaman (1989) dan Gurindam Alam (1994) yang menjadi rujukan umum dan di institusi-institusi pengajian tinggi.

Hasil kajian Naffi terhadap tiga kumpulan puisi Dharmawijaya, Warna Maya (1974), Derita Buana (1992) dan Jejak Kembara (1999) menginformasikan bahawa ada tiga hal makna penting yang menjadi kekuatan dalam karya Dharmawijaya, iaitu: Kritik sosial, dekat pada alam pendekatan kepada Tuhan (Berita Harian, 30 Mei 2008). Ketiga-tiga hal ini, merupakan kekuatan yang tidak terpisahkan dari watak dari penyair Minangkabau pada umumnya.


Keminangkabauan
puisu
Dharmawijaya

Kritik sosial
Pendekatan
Tunan
Simbolisme
alam
Rajah: Pemaknaan Keminangkabuan dalam Karya Dharmawijaya

1. Kritik Sosial Perlawanan Terhadap Hegemoni
Satu hal yang paling popular dimiliki oleh sastrawan atau penyair Minangkabau di Indonesia adalah, karyanya yang sering bercorak kritik sosial dan sangat dekat dengan perjuangan kemanusiaan dan anti terhadap hegemoni. Bahkan sastrawan AA Navis seorang sastrawan Indonesia yang berdarah Minang dipopularkan dengan sebutan tukang cumeeh (pengkritik). Kemudian dikalangan penyair, Taufik Ismail karya-karyanya sering bermuara pada kritik sosial tersebut. Artinya, di kalangan sasterawan dan penyair berdarah Minang sering mengangkat kepedualian, kemanusiaan dan kesejahteraan. Kritik sosial ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dunia sosial, politik dan kekuasaan.

Hal ini pula yang terlihat dari Dharmawijaya. Karya-karyanya padat dengan kritik sosial dan membangun semangat baru. Naffi mengungkapkan “Puisi Dharmawijaya seiring dengan perkembangan sosial hidup masyarakat sehingga saya mendapati beliau tidak lari daripada mengungkapkan permasalahan masyarakatnya khususnya petani yang berhadapan dengan fenomena alam dan diperkatakan secara jujur” (Berita Harian, 30 Mei 2008).

Permasalahannya adalah, mengapa kritik sosial ini melekat dan disemangati oleh sasterawan atau penyair Minangkabau, tentu sangat kuat hubungan kaitnya dengan sistem budaya masyarakat Minangkabau itu sendiri. Suku bangsa Minangkabau merupakan suku bangsa yang mempunyai tradisi demokrasi. Tradisi demokrasi Minangkabau ini telah mengalahkan praktik feodalisme dan kolonialisme di Minangkabau. Praktek feodalisme terlihat dari hilangnya kerajaan raja di Minangkabau, sehingga sampai saat ini di Minangkabau tidak pernah raja di daulat lagi. Kehilangan sistem kerajaan ini, kerena dipengaruhi oleh kuatnya amalan demokrasi di dalam masyarakat nagari[3]. Demokrasi telah mengalahkan hegemoni kekuasaan.

Di samping adanya tradisi demokrasi, kritik sosial yang kental bagi orang Minangkabau diperkuat dengan keyakinan terhadap agama. Suku bangsa Minangkabau sangat terkenal dengan suku bangsa yang taat beragama. Bagi keluarga Minangkabau, agama sudah disosialisasikan dari semenjak kecil. Agama menjadi dasar moral dan nilai-nilai sosial yang diyakini oleh orang Minangkabau. Agama mempunyai dasar yang kuat dalam membangun keadilan dan kemanusiaan. Kekuatan ini yang mempengaruhi watak kritis bagi orang Minang.

Kritik sosial merupakan perlawanan terhadap hegemoni, kesemenaan terhadap dunia manusia. Kritik sosial ini merupakan salah satu, bentuk perjuangan yang dilakukan oleh sasterawan atau penyair. Pembebesan dunia sosial dari hegemoni politik, kekuasaan dan kolonialisme yang diperkenalkan oleh Gramsci ini sudah menjadi ciri khas dari penyair-penyair atau sasterarawan Minangkabau terdahulunya. Hal ini terlihat pula dalam karya-karya Taufik Ismail dan penyair-penyair generasi baru yang sudah ”bosan” hidup dalam hegemoni kekuasaan orde baru di Indonesia.

Dalam perspektif penulis atas dasar itu pula Dharmawijaya membangun kekuatan kritik sosial dalam karya-karyanya. Kritik sosial dalam karya Dharmawijaya sering bermuara pada penyadaran diri, bahkan pemberi motivasi untuk berubah. Kelebihan ini yang banyak terbentang dalam karya-karya Dharmawijaya, seperti yang dilihat oleh Naffi Mat ” Dharmawijaya mengungkapkan permasalahan masyarakatnya secara jujur”. Hal ini dilakukannya, sebagai bentuk tanggungjawab terhadap dunia sosialnya. Lihat misalnya, puisi Dharmawijaya dalam warna maya yang bercerita tentang kegelisahannya dalam melihat dunia sosial anak manusia.

derita itu
sangkar madu
anak-anak manusia
bercitawaja. bahagia itu
angin debu
anak-anak manusia
penagih kurnia.
berita-bahagia adalah warna maya
pantai dan lautnya
dada kembara!


2. Pendekatan Pada Tuhan
Satu hal yang tidak dapat dinafikan dari penyair Minang adalah, kekentalan karya-karyanya dengan pemaknaan kesajatian hidup dan pendekatan diri pada Tuhan. Hal ini sebagai salah satu fitrah bagi penyair yang berdarah Minangkabau yang selalu hidup dalam budaya religius. Dalam Islam hal seperti ini dikenal sebagai salah satu bentuk dakwah bil lissan. Dalam perspektif antropologi budaya, seperti Geertz (1983) menyebutkan bahawa nilai-nilai agama yang menjadi world view akan sukar dipisahkan dari jati diri sesorang, ia akan membentuk watak dan mempunyai pengaruh dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, agama akan hidup dalam karya. Pendapat yang sama pernah pula dikemukakan oleh Kluchon (Koentraningrat, 2000) bahawa nilai-nilai yang sudah terinternalisasi akan berpengaruh terhadap karya-karya kehidupan.

Agama bagi masyarakat Minangkabau merupakan sesuatu hal yang esensia dan selalu ditegaskan dalam falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Oleh sebab itu, masalah agama merupakan masalah yang paling fundamental. Walaupun saat sekarang sudah berlaku perubahan secara pragmatis, namun hakikat dan esensi keagamaan itu masih mempunyai sisa kekuatan, setidaknya agama masih dikuatkan dalam institusi rumah tangga.

Pengajaran agama ini tentu juga melekat pada Dharmawijaya Oleh sebab itu tidak menghairankan karya-karya Dharmawijaya dipenuhi oleh nuansa-nuansa keIlahi-an, simak dalam puisinya berikut ini:


Rumah Cinta
setiap kali ku kunjungi
rumah cinta ini
kurasakan pintu takwa
semakin membukakan
sinar makna
kandil wahyu
titian keagungan-Mu...........

Dalam Rumah Cinta Dharmawijaya pada hakikatnya membawa pada pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam ranah rumah cinta ini pula dapat ditangkap bahawa Dharmawijaya sendiri merupakan seorang yang berusaha untuk memuarakan hidupnya dengan hukum Tuhan. Berikut ini pula, melalui Pintaku Padamu Dharmawijaya melakukan dakwah bil lisan untuk keinsyafan kerana hayat akan berakhir.

Pintaku Padamu
kalau esok kasih kita kan hancur jua
usah ditaburi bumi ini dengan airmata
dunia bukan semata milik orang bercinta
hidup jua bukan semata untuk berlagu kecewa
dibawah sinar mentari pagi demikian jernihnya
hayunkan langkah gagahmu sepenuh khidmat
usapi kesetiaan hati seluruh umat

kalau esok jua hidup dijenguk kematian
usah ditangisi sepinya tanah kelahiran
nyanikan lagu peridu ke wajah tuhan
tanda hatimu setia dlm usia pengorbanan
tau-taulah dibintang satu
dihari hidup kita mengejar bahagia dalam sengsara
dihari mati kita mengira pahala dan dosa


3. Pendekatan Alam
Naffi Mat, mengkaji karya Dharmawijaya dengan pendekatan Teori Psikoanalisis dan Estetika Sastera. Puisi Dharmawijaya dikatakan turut memaparkan rasa tanggungjawabnya untuk memberi rangsangan kepada masyarakat untuk memperjuangkan nasib hidup melalui pemaparan lambang (Berita Harian 30 Mei 2008). Dorongan untuk memeparkan simbol alam ini, merupakan satu hal yang paling biasa dipakai oleh penyair-penyair berketurunan Minangkabau. Menurut AA Navis, hal ini didorong oleh semangat hidup yang diajarkan dalam masyarakat Minangkbau alam takambang jadi guru (alam terbentang menjadi guru).
Manusi belajar pada karenah (tanda-tanda) yang ada dalam alam semesta ini. Alam melambangkan atau memberikan banyak simbol yang harus dimaknai oleh manusia. Pemaknaan simbol alam itu, akan menjadi indah diolah oleh para penyair-penyair dalam karyanya. Simbol alam ini banyak diangkat oleh Dharmawijaya dalam karyanya. Bahkan dalam warna maya hampir membawa simbol alam tersebut.
Kesimpulan
Sebagaimana pada umumnya, citra rasa kedaerahan bagi penyair merupakan salah satu pembentuk watak dari penyair tersebut, sehingga ia mempengaruhi terhadap karya-karyanya. Sebagaimana halnya juga dapat dilihat dari karya-karya Dharmawijaya. Sebagai seorang yang terlahir dari ”Bumi Minang” ia tidak luput dari semangat kedaerahnnya ini. Bahkan kalau ditelusuri ada tiga hal penting semangat keminangkabauan yang melekat dalam karya-karya Dharmawijaya, iaitunya adanya pembawaan terhadap kritik sosial, pendekatan diri pada Tuhan dan membangun simbol-simbol alam dalam karyanya sehingga memudahkan untuk memahami fenomena yang berlaku.


Rujukan
AA.Navis. 1988. Alam Takambang Jadi Guru. Jakarta. Aksara

Ahmad Kamal Abdullah (Kemala). 1987. Kertas Kerja. ” Firdaus Abdullah: Potret Penyair Melayu Antara Tradisi dan Moden. Pekan Baru.

Berita Harian, 30 Mei 2008. Karya A Samad Ismail, Dharmawijaya dan JM Aziz diteliti bagi mencari makna tersirat. Kuala Lumpur. Berita Harian.

Greetz, C. 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretative Anthripologi. New York. Basic Books.

Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
[1] Tambo merupakan perihal yang menceritakan keminangkabauan, mulai dari sejarah sampai masalah adat dan budaya. Isi tambo berupa cerita-cerita Minangkabau yang bercampur aduk dengan dongeng.
[2] Maota merupakan bahasa Minang dengan erti berbicara antara sesame, pembicaraan tersebut mempunyai seni dan gaya bahasa tersendiri, bahkan dapat berbentuk pantun dan sajak. Tradisi ini akhirnya menjadi tradisi di lapau-lapau atau kedai-kedai kopi. Dimana lelaki sebelum bekerja duduk di kedai kopi maota bersama-sama. Boleh pula diertikan berbincang-bincang dengan beragama tajuk. Tradisi ini, akhirnya menjadi media komunikasi dalam masyarakat Minangkabau sampai sekarang ini. Maota tidak sahaja dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi juga bagi kaum perempuan. Tempat maota bagi perempuan tidak di lapau tetapi berada di pencuran atau di pemandian umum.
[3] Nagari merupakan kawasan yang mempunyai autonomi dan pemerintahan tersendiri. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, pemerintah nagari dijadikan sebagai pemerintah peringkat yang paling rendah. Di nagari ini masyarakat secara sosial hidup dalam tradisi demokrasi. Disebutkan elok nagari kerana mufakat (mesyuarat).

1 comment:

Unknown said...

WAH~~~ anda sungguh hebat. banyak perkara yang saya belajar! :P (dayya)