catatan hati

Monday, March 31, 2008

DINAMIKA SOSIAL

FENOMENA FRUSTASI SOSIAL

Oleh: Silfia Hanani


Sudah hampir 9 tahun gerakan reformasi melintas di bumi persada Indonesia. Perubahan-perubahan telah begitu banyak terjadi, namun selalu menghadapi perangkap dilema yang kursial, sehingga krisis dan fenomena pesakitan sosial tidak kunjung tercampakkan di negara yang berpenduduk lebih kuran 220 juta jiwa ini.
Potret buram dan kusam masih akrab melekat dalam realita masyarakatnya. Kemudian kesengsaraan-kesengsaraan yang bertubi-tubi pun ditimpakan oleh pemerintah ditengah dunia yang suram itu. Lihat saja, fenomena yang terjadi dibalik kebijakan pemerintah menaikkan BBM (bahan bakar minyak), dimana ekonomi masyarakat semakin terdesak kepinggiran jurang kemiskinan. Subsidi yang dijanjikan pun tidak kunjung memulihkan kesejahteraan masyarakat, malahan hanya sebagai open ended untuk menenangkan gunjingan masyarakat atas kenaikan harga tersebut.
Dilema kemiskinan ini, telah merenggut kewarasan masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Kefurutasian telah dilampiaskan dalam bentuk yang beragam, malahan belakangan ini marak kita simak tentang trends suicide bunuh diri atas dasar ketidak mampuan menghadapi realita kehidupan. Anak-anak SD pun telah ikut memilih mengakhiri kehidupan dengan cara suicide tersebut dengan gantung diri. Inilah sebuah fenomena yang malang melintas ditengah-tengah kehirupikukan tatanan ekonomi menara gading.
Kekuatan teori neoliberalisme yang dipupuk oleh pemerintahan, tidak banyak membawa perubahan yang signifikan terhadap pegentasan kemiskinan. Sistem ekonomi neo liberal masih saja memberikan keuntungan sepihak. Oleh sebab itu, dalam pandangan ekonom, seperti John Perkins neoliberalisme dalam dunia ketiga bukan jalan keluar untuk reinventing atau pemulihan, tetapi sebagai perangkap pemiskinan.
Jika demikian adanya, maka kekuatan ekonomi neo libealisme yang ditata oleh tim ekonom SBY sulit diharapkan sebagai the end of history kemiskinan. Potret kemiskinan masih menganga dalam lingkaran setan kekuatan ekonomi yang tidak memihak perubahan nasib rakyat. Endless kemiskinan entah kapan akan berakhir, apalagi sekarang ini dengan tidak adanya kita dengar “proyek” rancangan pengentasan kemiskinan yang cergas dan cerdas, baik ditingkat pemerintahan nasional maupun lokal. Maka diprediksikan kualiti hidup bangsa Indonsia akan semakin jauh tertinggal.

Harapan Yang Kandas
Memang reformasi telah kita sepakaiti adanya, tidak dapat kita tolak lagi. Penyesalan yang tersisas sekarang adalah, mengapa pengisian reformasi ini selalu membawa kekecewaan-kekecewaan sosial yang begitu mendalam. Optimisme reformasi kini berada dalam teras pendulum yang gamang, sehingga semunya berjalan dalam sistem trial and error.
Sistem pemerintahan yang berubah dan berjalan dari revisi ke revisi pun belum mengagihkan dampak yang signifikan terhadap kemakmuran dan kesejateraan masyarakat. Buktinya, negara kita masih saja tercatat sebagai negara yang terpuruk, jika dilihat dari berbagai perhitungan-perhitunga yang dilakukan, misalnya saja laporan yang dikeluarkan oleh Transparency International, negara kita masih merupakan negara no 7 terkorup daripada 120 negara, kemudian jika dilihat hasil laporan Development Report yang dikeluarkan UNDP menempatkan Indonesia di posisi 110 dari 173 negara di dunia (hingga Indonesia berada di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam). Kemudian dilihat pula peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) dalam World Investment Report (WIR) menempatkan Indonesia pada urutan 138 dari 140 negara di atas Gabon dan Suriname.
Maknanya semua adalah, sebuah lembaran kekecewaan yang melintas ditengah-tengah harapan yang meluap. Kematangan, institusi dan pemerintahan kita belum teruji sebagai pialang reinventing. Masih berada dalam kultur-kutur tradisional yang terkooptasi pemikiran-pemikiran parsial, sehingga nasib bangsa berada dalam tarik ulur kepentingan-kepentingan. Termasuk antara kepentingan pemerintah daerah dan pusat, kepentingan politik dan partai dan sebagainya. Dan nasib rakyat sendiri terbiar dalam lembah yang suram dan tidak terjamah oleh tarik ulur kepentingan tersebut.
Wajar, masyarakat akar rumput melampiaskan kefrustasiannya dengan berbagai cara, dan tidaklah aneh rasanya lagi, suicide atau bunuh diri semakin menjadi pilihan popular daripada mereka, sekali pun para mubaligh telah mengumandangkan bahawa bunih diri merupakan cermin kelemahan iman.
Mereka telah dikorbankan oleh sistem dan tidak tahu lagi cara untuk menggagas kehidupan, semuanya sudah pengab dikelilingi oleh sistem-sistem yang tidak berpihak padanya. Mngkin bunuh diri senjata orang-orang kalah dan terpinggirkan yang anomik sekarang ini.
Nampaknya untuk mengusir kefrustasian ini pemikiran Hatta, Mubyarto dan kalangan sosialis kanan lainnya, perlu dipertimbangkan kembali untuk memulihkan masyarakat yang kandas ini. Ekonomi masyarakat akar rumput perlu diberdayakan dengan pendekatan-pendekatan yang kooperatif, sebagaimana yang pernah digagas oleh tokoh-tokoh tersebut. Terimakasih.

No comments: