catatan hati

Monday, March 31, 2008

KEMISKINAN

“HANTU” PEMISKINANDI DUNIA KE TIGA

Oleh: Silfia Hanani

Dalam alaf global modern dan maju ini, rasanya tidak pantas lagi kita berbicara kemiskinan. Masalahnya kemiskinan itu sebagai tradisi orang-orang terbelakang dan orang-orang pra sejarah, bukan tradisi dalam peradaban orang-orang modern. Tetapi pada kenyataannya, kemiskinan masih menjadi potret lingkaran setan kehidupan dalam abad ini dan malahan di negara-negara yang sedang berkembang kemiskinan masih berlangsung tanpa diketahui akan berhentinya.
Pasokan-pasokan dana dari negara-negara maju pun mengalir untuk pembangunan di negara-negara berkembang dengan alih-alih untuk mengentaskan keterbelakangan dari negara-negara miskin tersebut. Namun tidak pernah pemberian dana tersebut berakhir dalam sebuah program pembangunan yang mensejahterakan dunia ke tiga. Kemiskinan tetap saja bercokol membeku membentuk gunung es.
Apa pasal persoalannya, apakah sebagai akibat dunia ke tiga tidak punya “kepintaran” atau “kenjeniusan”, sehingga pengaliran dana ke dunia ke tiga tidah memberikan suatu muara yang bernama kesejahteraan bagi dunia ketiga itu sendiri. Akhirnya pun kemiskinan, tidak menjadi the end of history di negara-negara penerima dana pinjaman tersebut.
Sehubungan dengan konteks ini, John Perkins sebagai seorang kepercayaan dari “donator” untuk negara-negara berkembang telah mengungkai polemik dan permasalahan ini, dengan kesimpulan akhirnya selagi dunia ke tiga masih menerima dana pinjaman negara-negara maju atau negara donor, tidak akan ada muara kesejahteraan. Keuntungan dan kekayaan akan tetap berada dikubu sang donator.
Lebih jelas dikatakan oleh Perkins ketika negara donor mendorong infrastruktur, tanpa sadar negara berkembang terjerumus kedalam kubah kolonialisme baru sebagai bagian dari liberalisme. Bantuan negara pemberin utang tidak berupa aliran dana tunai, melainkan bentuk fisik yang sangat membebani negara berkembang. Praktik ini merupakan modus standar negara maju menguasai sebuah negara berkembang. Begitulah Perkins menulis dalam buku Confessions of an Economic Hit Man.
Tulisannya ini, merupakan hasil dari perjalanan panjang memasuki area kerja sebagai konsultan ekonomi daripada institusi-institusi pemberi modal. Perkins, yang begitu akrab dengan dunia ke tiga telah membeberkan kenaifan-kenaifan yang berlaku dalam aliran bantuan yang diterima oleh negara berkembang itu. Oleh sebab itu setiap bantuan yang dialirkan ke dunia berkembang tidak pernah berakhir sebagai pengentas kemiskinan, malahan menjadi runyam akibatnya.
Sebenarnya, Marx telah duluan membuka “kartu” ini. Tetapi tidak menjadi populer, akibat kuatnya gerakan spektakuler kelombok liberalisme. Bagi Marx, tidak ada bantuan terhadap negara berkembang yang sejati, selalu dibaliknya ada eksplorasi kekayaan dan keuntungannya mengalir pada negara pemberi bantuan. Penghisapan kekayaan sudah terencana dengan halus dan sistematis dari bantuan itu.
Anulisr-anulir teori pembangunan mulai dari teori modernis sampai teori sistem dunia, selalu memberikan temuan dan analisis yang serupa. Kesimpulannya, selagi dunia ketiga masih bergantung pada negara maju, maka selama itu negara-negara berkembang berada dibawah bayang-bayang kemsiskinan dan penghisapan-pengisapan kekayaan.
Untuk mengatasi kondisi seperti ini, tidak ada jalan lain bagi negara-negara berkembang selain melakukan peng-cut-an terhadap kebergantungan bantuan dari negara-negara maju. Negara-negara berkembang mesti membuat kebijakan yang “cerdas” untuk kepentingan bangsanya.
Apalagi, saat sekarang ini dengan menggelindingnya globalisasi yang menawarkan sistem neoliberalisme, maka negara-negara berkembang semakin mengalami peminggiran-peminggiran ekonomi akibat “produksi” negara-negara maju yang melintasi ruang tanpa batas dan tidak mengenal waktu. Maka pertahanan-pertahan negara berkembang perlu ada, salah satu pertahan yang akan dibangun oleh negara-negara berkembang menurut Giddens adalah, mewujudkan sistem pemerintahan tanpa musuh. Yaitu membangun sistem pemerintahan yang disokong oleh masyarakatnya dan mampu berdialektika dengan dunia luar.
Apalagi sekarang ini dunia menjadi “landasan pacu” ekonomi dunia-dunia kuat. Hanya memikirkan bagaimana untuk memenangi pertandingan ekonomi. Oleh sebab itu, kata ekonom J.K Galbraith dalam bukunya Culture Contentment orang-orang kaya dalam dunia kompetitif sekarang tidak menjadi tertarik terhadap orang miskin. Artinya adalah, negara-negara maju tidak akan mempertimbangkan lagi kemiskinan dan keterbelakangan dalam setiap proyeknya di negara yang diberi dana pembangunan. Realisasi proyek negara-negara maju lebih diwarnai alasan keuntungan ekonomi.
Ketika IMF menjadi pemasok dana ke Indonesia, jawaban yang jelas bagi kita untuk membenarkan tesis JK Galbraith, Perkins dan Marx. Memang bantuan modal asing tersebut menjadi pesakitan yang mengacaubalaukan sistem ekonomi di Indonesia.
Oleh sebab itu pemiskinan di negara-negara di dunia ke tiga tidak selalu diakibatkan oleh tradisionalnya sistem di negara ketiga tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh masuknya sistem asing mengintervensi negara dunia ke tiga. Intervensi yang lebih dominan bermain dalam ranah modal, merupakan suatu gerakan kolonialisme baru dalam dunia kontemporer sekarang ini. Inilah yang harus dicermati dan dihati-hatikan oleh negara-negara penerima donor.

No comments: