catatan hati

Tuesday, April 1, 2008

CATATAN PENDIDIKAN

MENGAKHIRI HEGEMONI KEKUASAAN DI RANAH PENDIDIKAN:
INTROPEKSI PENDIDIKAN SEJARAH BANGSA PASCA REFORMASI

Oleh:
Silfia Hanani


Pasaca reformasi multi kesadaran muncul kepermukaan. Keasadaran akan rekontruksi elemen-elemen sosial nampaknya mengapung bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan. Salah satu, elemen sosial yang mengalami penyadaran diri itu adalah elemen pendidikan nasional bangsa ini yang selama ini terkapar tidak berdaya dalam kubah kekuasaan yang feodalisme, sehingga pendidikan hampir gagal melakukan tugasnya sebagai pencerdasan anak bangsa. Kemudian bangsa yang sudah lebih setengah abad merdeka ini belum juga keluar daripada polemik kebodohan, ketertinggalan dan keterbelakangan. Wajar bangsa ini tidak dapat dengan segera mengatasi multi krisis yang melanda dan sampai sekarang terkatung-katung dalam lembah ketidak menentuan.
Kualiti pendidikan yang compang camping, juga menjadi sebuah bukti nyata bahwa sistem pendidikan di ranah yang berpenduduk lebih kurang 220 juta jiwa ini masih rendah dan belum menjadi perhatian yang serius daripada pemerintahan. Pertukaran-pertukaran kurikulum yang berlaku dari waktu kewaktu, nampaknya juga tidak menjadi solusi yang akurat untuk mengangkat kualitas tersebut, sehingga tidaklah heran sampai saat ini, rating kualitas pendidikan di negera kita ketinggalan daripada negara-negara tetangga.
Inilah, persoalan mendasar yang pelu dijawab. Untuk menjawabnya, nampaknya berbagai pedekatan-pendekatan yang mesti dilakukan. Mulai daripada pendekatan kebijakan pemerintah sampai pada peran serta masyarakat terhadap pendidikan. Daripada pendekatan itu, setidaknya kita dapat menjawab bahawa selama ini arah kompas pendidikan telah terkooptasi kedalam ranah kekuasaan. Pendidikan dibelokkan kedalam kepentingan-kepentingan kekuasaan, sehingga sistem pendidikan dibuat tidak berdaya untuk mendewasakan, mencerdasakan anak bangsa, hanya berjalan dalam kehendak kekuasaan. Tujuannya jelas untuk memperkokoh status quo daripada kekuasaan itu sendiri. Oleh sebab itulah, pendidikan juga dibawa dalam kubah kekuasaan, sehingga duni pendidikan “mengabdi” untuk kepentingan kekuasaan tersebut.
Ketika pendidikan berada dalam kubah kekuasaan itu, tidak heran “pembelokan-pembelokan” nilai terjadi dalam pendidikan, sehingga pendidikan mengalami kehilangan jati dirinya, sebagai komponen yang berdedikasi tinggi terhadap keilmiahan. Salah satu kondisi ini terlihat dalam pengajaran pendidikan sejarah nasional Indonesia.
Fakta sejarah diajarkan tidak lagi berbingkai kejujuran ilmiah, tetapi disesusiakan dengan konteks kepentingan kekuasaan, sehingga tidak hayal bangsa yang mempunyai sejarah panjang ini kehilangan jejak sejarahnya yang sejati. Pembelokkan fakta-fakta sejarah yang terjadi dalam pendidikan nasional sudah menjadi pengetahuan umum. Oleh sebab itu sekarang perlu dibongkar dan dijernihkan kembali, sehingga generasi mendatang tidak berada dalam khayalan sejarah bangsa yang salah.

Hegemoni Kekuasaan Dalam Pendidikan Sejarah

Selama 32 tahun pemerintahan orde baru berkuasa, pendidikan sejarah hampir secara total berada dalam versi kekuasaan, sehingga banyak fakta-fakta sejarah yang dijadikan pijakan sudah berada dalam hegemoni kekuasaan. Di ajarkan sesuai dengan pesanan penguasa. Pemutar balikan, sejarah berlaku dengan sangat berani dan selalu memenangkan kekuasaan. Inilah sebuah kelicikan yang berlaku dalam pendidikan sejarah bangsa kita. Pemutar balikan fakta sejarah ini sebagai mesin status quo yang halus. Akhirnya sejarah terpola dalam kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks yang demikian Garamsci menyebutkan hegemoni kekuasaan telah berjalan dalam perangkat lunak. Dan tersebar melalui ide-ide, sehingga pembenaran-pembenaran terhadap yang salah pun akan terjadi. Atau lebih sadisnya, kekuasaan telah mengkebiri pendidikan untuk mengakui sebuah sejarah yang salah. Disinilah muncul kolonialisme sejarah yang diaktori oleh kekuasaan.

Pendidikan sejarah tidak lagi diajarkan dalam dinamika independen, tetapi berada dalam keranda-keranda kepentingan. Hal ini, diperkuat dengan kurikulum-kurikulum pendidikan sejarah yang sumpek dan bias penyelewengan yang diartikulasikan oleh kepentingan kekuasaan tersebut.
Penyelewengan sejarah, secara sadar atau tidak telah ikut andil dalam memperlemah nasionalisme generasi bangsa. Jati diri dan reputasi bangsa terkoya-koyak dalam bingkai pembusukan-pembusukan sejarah. Generasi kehilangan jejak “kesucian” perjuangan bangsa.
Hegemoni-hegemoni kekuasaan dalam pendidikan, tidak saja akan merusak satu sistem pendidikan tetapi, lebih sadis adalah merusak image dan mentalitas anak bangsa. Oleh sebab itulah diengah “perang” global ini bangsa yang sudah mempunyai umur lebih setengah abad ini belum juga mandiri dan masih terkatung-katung dalam buih ketidak menentuan.

The End Of History Hegemoni
Pasaca reformasi sekarang ini, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain kita berbenah diri untu memperbaiki sistem-sistem yang rusak. Kerusakan sistem inilah yang sebenarnya menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang chaos.
Dimana selama ini, sistem pengajaran pendidikan sejarah kebangsaan yang disimpangkan dalam kekuasaan, perlu dikaji ulang untuk mendpatkan fakta dan data sejarah yang benar yang terjadi dalam aras kebangasaan ini, sehingga generasi mendatang mempunyai visi yang jelas dalam memahami bangsanya senidiri.
Praktisi pendidikan dan sejarawan harus jujur kembali mempublikasikan dan mengajarkan sejarah, tidak terkooptasi dalam bingkai-bingkai paradigma sejarah kebangsaan yang “abu-abu”. Kepentingan pendidikan perlu disadari sebagai kepentingan “kebenaran” bukan untuk kepentingan status quo kekuasaan. Oleh sebab itu, ditengah derap perubahan ini, sejarawan dan pendidik mesti merekapitulasi kembali tugasnya, sehingga kenaifan-kenaifan dalam bingkai pendidikan sejarah seperti silam tidak terjadi lagi.
Kurikulum-kurikulum pendidikan sejarah kebangsaan mesti dirancang bebas dari kooptasi kepentingan kekuasaan. Dimana selama ini, semuanya diarahkan dalam bingkai kepentingan kekuasaan itu, sehingga kurikulum pendidikan sejarah tidak obahnya sebuah ranah permainan kekuasaan, sehingga pendidik dan sejarawan telah tampil dengan reputasi sebagai “pembohong”.
Ada beberapa langkah yang mesti dilakukan seakarang ini, untuk membebaskan pengajaran pendidikan sejarah kebangsaan dari “kebohongan”. Pertama, meninjau kembali kurikulum pendidikan sejarah, mulai daripada peringkat awal. Kedua, meluruskan kembali sejarah bangsa, sesuai dengan fakta dan data sejarah. Ketiga membebaskan pembelajaran sejarah daripada kooptasi kekuasaan bukan atas kepentingan-kepentingan, sejarah ditempatkan pada posisi ilmiah sesuai dengan fakta dan data sejarah bangsa dan keempat adalah tidak menganaktirikan pendidikan sejarah dalam lintasan ilmiah, bagaimanapun juga sejarah bangsa adalah cerminan daripada nasionalisme bangsa ini. Oleh sebab itu ia harus dipaparkan dan diartikulasikan, bukan dipandang sebagai barang “murah”.

Lika-liku pelajaran pendidikan sejarah bangsa dalam kekuasaan, pada satu sisi memang telah memenangkan kekuasaan, tetapi pada satu sisi kebohongan yang dibangun oleh kekuasaan akhirnya membunuh daripada kekuasaan itu sendiriri. Begitulah setidaknya yang mencerminkan situasi pada khir ini. Dimana situasi yang penuh dengn tragedi-tragedi yang tidak berkorelasi dengan semangat patriotik dan mantaliti nasionalisme yang luhur, karena selama hampir 32 tahun anak bangsa disuguhkan oleh heroik sejarah perjuangan yang “hambar” dan tidak oksidantalisme.
Topeng-topeng kekuasaan yang bermain telah membuat sistem tralienasi dari pada kepentingan bangsa. Pendidikan sejarah dibawa dalam bingkai alienasi ini, sehingga pendidikan sejarah bukan memberikan artikelasi dan makna yang holistik terhadap mentaliti anak didik. Pendidikan sejarah berada dalam bingkai bayang-bayang daif dari kebenaran, hanya ditampilkan sesuai dengan kepentingan-kepentingan tersebut, sehingga pendidikan sejarah diterima oleh anak didik sebagai sebuah pelajaran yang “ugal-ugalan”. Kemudian tidak hayal, muncul image terhadap pendidikan sejarah sebagai yang tidak berarti. Akhirnya pendidikan sejarah bangsa ini menjadi orientalisme di ditengah masyarakat bangsanya sendiri.
Keterasingan-keterasingan sejarah bangsa daripada masyarakat bangsanya, membuat sebuah bangsa kehilangan identitasnya. Kehilangan identitas ini, secara sadar atau tidak melahirkan tindakan paradox yang tidak mengakar daripada nilai-nilai luhur bangsa. Mungkin suasana anarkhis sekarang adalah membuktikan analisis itu. Chauvinistik, anarkhisme dan konflik persudaraan menjadi gambaran yang anti sejarah.
Pendidikan sejarah yang terkooptasi kekuasaan selama ini telah membuat, pemahaman sejarah terputus, sehingga tidak terjadi dialektika sejarah kekinian dengan sejarah masa tertentu. Menurut Hegel seperti yang dikutip oleh Leirissa dalam pengantar The End of History best seller Fakuyama menyebutkan berdasarkan dialektika itulah pemahaman sejarah atau filsafat sejarah sangat penting erti dan maknanya, karena dialektika sejarah akan selalau bermuara pada pembentukan sejarah yang lebih baik. Dengan artikata, dialektika memungkinkan hal-hal yang tidak rasional pada masa-masa tertentu dikoreksi atau dilenyapkan ketika menuju tahapan yang lebih baik.
Maknanya sekarang adalah, perlu kembali pencarian sejarah bangsa oksidentalisme yang lurus. Disinilah peranan pendidikan sejarah yang tidak terkooptasi oleh kekuasaan. Pembebasan-pembesan perlu adanya dilakukan, sehingga sejarah bangsa yang diterima oleh anak bangsa benar adanya, sehingga dari kebenaran itu, lahirkan kedepan sebuah situasi sejarah yang lebih baik. Karena menurut Hegel sejarah merupakan proses tahapan, sehingga sejarah harus diartikan sebagai perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan kebebasan dan tahapan yang lebih baik. Di sinilah makna sejarah kehadapan kata Cris Lorenz sebagai quasie causal. Oleh sebab itu, eksistensi sejarah sangat menentukan terhadap civil society yang digembar-gemborkan saat sekarang ini.
Sementara di negara kita, sejarah yang jujur itu telah terkontaminasi dengan sangat keruh dalam adukan kepentingan kekuasaan sehingga dialektika-dialektika tidak dapat tempat kemana arahnya untuk ditujukan. Maka disinilah peranan pendidikan sejarah yang luhur kembali diaktualisasikan. Pengartikulasian sejarah yang jujur itu, sangat tergantung pada kecermatan dunia pendidikan memberikan kebenaran sejarah.
Pendidikan bukan menjadi agent manipulatif dan alat kekuasaan yang membenarkan kebohongan sejarah. Tetapi harus menjadi ranah yang mengantarkan kebenaran-kebenaran sejarah kepada generasi. Masalahnya bagaimana pun juga sejarah adalah sebuah pengetahuan yang bisa memberikan proses dialektika dengan konteks masa yang akan dating, karena sejarah menjadi landasan pijakan yang selalu memproses menuju satu tataran penyempurnaan.
Makanya, sejarah bangsa sangat mengikat pada corak, karakteristik dan warna nasionalisme. Nasionalisme adalah bentukan daripada sejarah yang berjalan dalam sebuah bangsa, sebagaimana dijelaskan oleh Hegel dalam dialektika sejarah sebagai peranannya kehadapan.

Langkah yang paling mendesak dilakukan sekarang ini, untuk membangun dialektika sejarah sehingga bersinergi untuk membangu generasi bangsa kehadapan adalah, melakukan tinjuan ulang terhadap pendidikan sejarah di bumi nusantara ini. Membebaskan sejarah darapada manipulatif-manipulatif fakta dan data. Sejarah harus dijelaskan dalam bingkai-bingkai ilmiah, bukan dijelaskan sesuai dengan bingkai ranah kehendak penguasa.
Pencerahan pendidikan sejarah bangsa, dimulai kembali dengan pembetulan-pembetulan konteks sejarah bangsa. Sejarah bangsa harus dihadirkan dengan sejernih-jernihnya atau disebut juga dengan upaya reinventing penulisan dan penyajian pendidikan sejarah bangsa. Dimana pendidikan sejarah bukan lagi sebagai alat “pembodohan” tetapi pencerdasan anak bangsa, sehingga dedikasi nasionalisme anak bangsa dapat dipertahankan dalam membawa perubahan bangsa kehadapan.
Menurut Giddens, pendustaan-pendustaan yang dilakukan dalam ranah interaksi sosial, seperti interkasi pendidikan dengan anak didik sama saja membawa dunia sosial dalam situasi yang tidak berarah. Ontologi pendidikan sejarah tercabik dalam kesadaran yang palsu.
Menurut Mannheim kesadaran palsu menghalangi pemahaman komprehensif tentang kenyataan. Mungkin dosa inilah yang ditui oleh penyajian pendidikan sejarah bangsa yang selama 32 tahun kebelakangan, dimana sejarah bangsa dihantarkan dengan manipulatif yang membangun keasadaran palsu generasi selanjutnya.
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana membuat pendidikan sejarah tidak terputar balik kembali. Setidaknya ada tiga area yang perlu dijamah untuk mengembalikan pendidikan sejarah bangsa. Di sinilah perlunya pendidikan sejarah dalam sisetem pendidikan nasional mengintropeksi diri, sehingga ketimpangan-ketimpangan dalam pendidikan sejarah bangsa tidak berlaku lagi.
Pembaharuan dalam sistem pendidikan sejarah, jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena kondisi kronis yang dialami oleh penulisan sejarah bangsa ini sudah amburadul dan chaos. Majinalisasi kebenaran sejarah telah begitu mengental dalam visi kekuasaan masa lalu, sehingga kerja keras untuk meluruskannya perlu diagendakan dengan segera.

No comments: