catatan hati

Tuesday, April 1, 2008

SEKILAS OTONOMI DAERAH

REINVENTING GOVERNMENT ; PEMERINTAHAN DI ERA
OTONOMI DAERAH

Oleh: Silfia Hanani


Reinventing Government merupakan sebuah buku spektakuler yang lahir dari pemikiran Divid Osborne dan Ted Gaebler di awal abad 21. Buku ini memaparkan tentang pemberdayan pemerintahan dengan gaya pasar, dimana birokrasi tidak terpaut dengan kebirokrasiannya saja, tetapi harus mencari jalan untuk membangun birokrasi yang lincah dan energik. Oleh sebab itu melalui buku ini Osborne dan Gaebler, menawarkan mewirausahakan birokrasi.
Ada sepuluh yang prinsipil dalam dalam membangun birokrasi pemerintah yang mengarah pada wajah birokrasi berteraskan wirausaha tersebut; (1) customer-diriven government(pemerintahan yang berorinetasi pelanggan), (2)mission-driven government(pemerintahan yang berorinetasi pada misi yang dibuatnya), (3) anticipatory government(pemerintah yang tanggap),(4) result-oriented government(pemerintah berorientasi hasil),(5) competitive government(pemerintah yang kompetitif),(6)Enterprising government(pemerintah yang berjiwa usaha), (7) Decentrilized government(pemerintahan yang desentralistik), (8) community-owned government(pemerintahan milik msyarakat), (9) catalystic government(pemerintahan katalis) dan (10) market-oriented government(pemerintahan berorientasi pasar)
Gagasan pemikiran yang dirangkai dalam Reinventing Government ini banyak diadopsi oleh Clinton dan sangat berpengaruh dalam tatanan dan sistem pemerintahannya. Kemudian menular dalam pemerintahan negara-negara pro demokrasi, sehingga pemikiran Osborne dan Geabler menjadi reaktualisasi birokrasi global yang antusias dicerna oleh banyak pemerintahan.
Konon otonomi daerah yang dilakukan dalam aras sistem pemerintahan Indonesia ikut terpengaruh pula dengan birokrasi tawaran Osborne dan Geabler ini. Kemudian dengan gaya setengah hati dicoba pula oleh pemerintahan orde baru, sehingga lahirlak delapan prinsip pelayanan prima pemerintahan yang diaktualisasikan melalui Kepmen PAN No 81 tahun 1993. Delapan pelayanan prima birokrasi tersebut adalah(1)kesederhanaan,(2)kejelasan dan kepastian,(3) keamanan,(4) keterbukaan,(5) efesien,(6)ekonomis,(7) keadilan yang merata dan(8) ketepatan waktu. Namun delapan prinsip pelayanan prima yang digagas oleh pemerintahan orde baru ini tidak juga menyelesaiakan masalah birokrasi pemerintahan Indonesia. Birokrasi orde baru terlalu birokrat dan selalu menempatkan kekuasaan di atas kepentingan segala-galanya. Akhirnya kesuburan-kesuburan kolusi, korupsi dan nepotisme(KKN) telah meruntuhkan sendi-sendiri pemerintahan mempunyai akuntibiliti publik. Keruntuhan akutibiliti dalam birokrasi orde baru ini akhirnya menimbulkan krisis multidimensi.
Maka pada tahun 1997 tiada pilihan lagi, kecuali “menggerbek” kekroposan sistem birokrasi pemerintahan orba tersebut, dengan menjatuhkan kedigdayaan Soeharto melalui gerakan massa yang sangat agresif. Gerakan massa ini telah membawa alaf baru dalam sistem pemerintahan Indonesia, yaitu dari sistem pemerintahan sentralisme ke desentralisme.
Melelehnya bungkahan salju borokrasi kekuasaan dalam teras pemerintahan Indonesia telah membuka perbincangan tentang sistem pemerintahan lokal. Ketika inilah sistem pemerintahan desentralisme melahirkan otonomi daerah, yang dirancang melalui dua kekuatan undang-undang, yaitu undang-undang no 29 tahun 1999 dan undang-undang no 25 tahun 1999. Kemudian terjadi evaluasi dan revisi, sehingga bergulir lagi undang-undang no 32 tahun 2004 yang mencerahkan daripada dua undang-undang sebelumnya itu.
Membidik daripada animo dan perubahan tersebut, muncul pertanyaan, sejauhmana pemerintahan daerah sekarang ini melakukan pemberdayaan birokrasinya, sehingga eksistensi pemerintahan daerah betul-betul menjadi pemerintahan yang ideal dalam masyarakat daerah tersebut. Apakah gerakan Reinventing Government yang dikerjakan oleh pemerintahan daerah untuk menjawab otonomi daerah ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti selalu, hadir dalam penelitian-penelitian lapangan yang dikempabangkan oleh akademisi. Kemudian, tidak sedikit jawaban penelitian yang dihasilkan, antaranya pemerintahan daerah sekarang ini baru disikapi dalam taraf eforia kebangkitan lokal, kemudian otonomi daerah berjalan dalam pemerintahan daerah yang gagap dan sebagainya.
Pemerintahan yang gagap ini merajalela membawa birokrasi lokal “lebih kejam”. Dimana rakyat semakin tertekan dengan berbagai aturan “gerakan penguangan”. Pemerintah melakukan pengwirausahaan melalui jalan pintas, membebani setiap urusan publik dengan keuangan. Misalnya, biaya pembuatan KTP saja sudah berlapis-lapis, mulai dari pemerintahan terendah sampai pemerintahan kecamatan ada pos keuangan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Ada kesan pemerintah daerah memobilisasi setiap urusan publik menjadi mesin pencetak uang untuk menghasilkan pendapatan sebanyak-banyaknya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat mengeluh dan mencerca tonomi daerah sebagai penambah beban pesakitan.
Fenomena seperti itu terjadi kerenan otonomi daerah belum diiringi dengan optimalisasi birokrasi pemerintahan yang cerdas. Pemerintah daerah masih terpengaruh dengan “style” lama. Pemerintahan era otonomi daerah masih kehilangan akal dan lamban. Belum bekerja dengan kesigapan, kecakapan, kejeniusan, dan keenerjikan.
Kemudian, pemerintahan di daerah masih mengalami keterbatasan sumber daya manusia yang berkualiti, akibat rekrutmen pegawai negeri sipil(PNS) yang berjalan selama ini dalam kungkungan kongkalingkong, sehingga sangat dirasakan kelambanan gerak gerik pemerintahan membawa daerah ke ranah daerah berkesejahteraan. Oleh sebab itu, kegagapan strategi pemerintahan dalam membangun daerah cukup dominan berlaku. Pemerintah daerah, nampaknya sering mengalami depresi, malahan mengalami kebingungan untuk menyikapi otonomi daerah ini.
Maka dalam waktu sepuluh tahun ini, otonomi daerah masih dominan berada dalam teraf konsep, sedangkan implikasi-implikasinya masih dalam suasana “pergalauan-pergalauan” yang belum memecahkan persoalan masyarakat. Maka untuk mempercepat impak otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat, gebrakan pencerdasan pemerintah dan birokrasi mesti diambil dengan langkah cepat oleh top leader di daerah tersebut. Oleh sebab itu, Gubernur, Bupati dan Camat diperlukan seorang top leader yang mempunyaik kapabel yang bagus, bekerja keras, energik, cepat bertindak dan tidak kehilangan akal dalam menjalan pemerintahannya. Kepala daerah, tidak cukup lagi sebagai headship tetapi menjadi leadership. Pemerintahan daerah tidak hanya sebagai “kepala” tetapi sebagai pemimpin yang pandai mengendalikan, menyusun strategi dan sebagainya. Selama ini kepala daerah lebih terpaku dalam konteks “kepala”, sehingga ia lebih terperangkap dalam simbolisme yang bermain dalam arena serimoni, tanda tangan dan kerja-kerja dibalik meja. Sekian, terima kasih.

No comments: