catatan hati

Friday, April 11, 2008

MASIH KEMISKINAN

MENEKAN ANGKA KEMISKINAN

Oleh: Silfia Hanani

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan sampai hari ini dan masih menggelinding menebur pesakitan penderitaan rakyat. Kebijakan pemerintah pun terasa trial and error dalam menanggulanginya, sehingga tidak ada satu titik kepastian kapan akan surutnya deretan angka kemiskinan di bumi yang baru saja ditinggalkan oleh kematian satu penguasa rezim orde baru ini.
Nasib orang-orang miskin semakin tersuruk dengan kenaikan harga yang tidak rasional. Sepanjang tahun 2007 misalnya, kenaikan harga barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat kecil hampir tidak logis lagi, sehingga pada tahun ini orang-orang kecil menjerit mengikuti gejolak-gejolak kenaikan harga tersebut. Oleh sebab itu tidak mengherankan pada tahun 2007 angka kemiskinan di Indonesia ditemukan sebenyak 37, 17 juta jiwa atau 16, 56%.
Hal ini dipicu oleh pendapata masyarakat yang tetap sementara lonjakan harga barang-barang cukup tinggi. Pengahasilan orang miskin lebih terkuras untuk mengikuti irama kenaikan harga. Harga yang selalu naik itu adalah barang-barang yang ”akrab” dengan rakyat kecil. Belajar dari realita tahun 2005, bahwa kenaikan harga barang-barang telah menyumbangkan 70,54% terhadap total angka kemiskinan. Sedangkan pada tahun 2006 kenaikan barang-barang menyumbangkan 74,99% terhadap total angka kemiskinan. Artinya kenaikan harga barang-barang selalu menyumbangkan terhadap angka kemiskinan.
Asumsi angka kemiskinan tahun 2008, nampaknya tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kemiskinan masih menganga-nganga diakhir pemerintahan SBY-Kalla. Target Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang menakar tahun 2009 menekan kemiskinan sampai pada level 8,2 % sukar akan terwujud, hanya menjadi bayang semu.
Oleh sebab itu sepanjang perjalanan pergantian pemerintah, sejarah kemiskinan di Indonesia masih stagnan berada dalam catatan buram. Mulai dari pemerintahan orde baru dan sampai pada pasca pemerintahan reformasi kemiskinan di negeri ini dengan ”elok” masih tersimpan dalam keranda ”bisu”. Orang-orang miskin tidak merasakan akses kebijakan pemerintah dalam menanggulangi nasibnya. Nasib mereka mengalir dalam perjuangan hidup mereka sendiri. Untung mereka masih menyisakan etos kerja untuk tetap bertahan hidup.
Apa sesungguhnya etos kerja orang miskin? Jawabannya bukan sepenuhnya seperti etos kerja yang dikemukakan oleh Weber sebuah etos kerja yang ”lurus” tertapi bercampur dengan dengan chauvinsitik. Di mana, perampokan, pencurian, penjarahan dan pembunuhan menjadi bahagian dari etos mereka. Etos seperti ini, menurut Scott sebagai bentuk perlawanan bagi orang miskin untuk memperjuangan hidupnya. Dengan demikian tidak heran di belahan negara-negara miskin, angka kejahatan dan kriminalitas cukup tinggi.
Bagi yang tidak menyisakan etos kerja sering menempuh jalan fatalisme, sehingga tidak heran orang-orang miskin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, kerena tidak sanggup menghadapi realitas yang tidak mampu dicerna oleh rasionalitas mereka.
Kemiskinan di Indonesia yang tidak jelas kapan the end of historynya, maka yang paling mendesak dilakukan adalah penekanan angka kemiskinan melalui perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak dalam menanggulanginya. Kemudian mendompreng mentalitas para pejabat yang tidak rasional melihat realitas. Dalam konteks ini suara Ivan Illich dalam celebration of awereness a call for institusional revolution (1969) perlu kita hidupkan kembali, untuk menggenjot mentaliti pejabat agar bersungguh-sungguh menangani masalah kemiskinan.
Di negeri ini kita menyaksikan banyak pejabat yang kurang care dengan realitas, termasuk tindakan yang tidak rasional dilakukan oleh legislatif, seperti di tengah-tengah rakyatnya dihimpit kemiskinan malahan mereka menuntut kenaikan insentif, gaji, tunjangan dan sebagainya. Garamsci, menyebutnya tindakan seperti itu sebagai hegemoni yang selalu meneruskan rakyat pada jurang kemiskinan dan keterpinggiran.
Dalam menekan angka kemiskinan yang tidak banyak diupayakan oleh pemerintah ini, kita rindukan kembali hadirnya Hatta dengan sistem ekonomi sosialis ”ala” Indonesianya. Mungkin kita merindukan berlian yang mau memberdayakan orang miskin, seperti yang dilakukan oleh Hernando De Soto terhadap masyarakat miskin di Peru. Masalahnya, kemiskinan tidak akan usai jika tidak dijamah oleh kebijakan dan pemberdayaan yang signifikan dengan permasalahan yang menyelimuti kemiskinan tersebut.
Buktinya, kita masih ingat dengan program Inspres Dana Tertinggal (IDT) masa orde baru, Jaringan Pengaman Sosial, dana subsidi untuk orang miskin dan sebagainya ternyata program tersebut tidak membawa perubahan apa-apa. Artinya program tersebut tidak menguak angka kemiskinan kerena tidak dijamaah penanganan yang berbasis akar rumput. Oleh sebab itu, pemerintah perlu belajar dari kegagalan tersebut, supaya hidup orang miskin di negara ini dapat berubah.

No comments: