catatan hati

Friday, April 11, 2008

POLITIK DAN KEMISKINAN

KEMISKINAN SEBAGAI KOMODITI POLITIK

Oleh: Silfia Hanani

Akhir-akhri ini kita dikejutkan dengan menaiknya harga kedele sebagai bahan tempe dan tahu secara tidak rasional, sehingga tidak sedikit pengusaha yang memproduksi makanan rakyat ini terpaksa gulung tikar, kerena tidak sanggup membeli kedele yang harganya yang membumbung tinggi. Bakan tidak sedikit rakyat yang hidupnya pas-pasan kebingungan untuk mencari lauk pengganti tahu dan tempe yang terjangkau harganya dengan penghasilan mereka.
Sebelum ini, kita juga telah dikejutkan oleh naiknya harga minyak goreng yang tidak rasional yang berdampak negatif pula terhadap rakyat kecil dan usaha-usaha rumah tangga. Di samping itu, barang-barang kebutuhan lain berangsur-angsur naik harganya dengan rasional. Tidak kalah penting, minyak tanah sebagai bahan bakar yang paling dominan dipakai oleh orang miskin di samping harganya yang mahal juga sangat sulit untuk diperoleh. Sementara kompor gas untuk orang miskin yang disubsidi pemerintah tidak mencukupi kerena jumlahnya terbatas pada wilayah tertentu.
Kenaikan-kenaikan harga barang yang sangat akrab dengan rakyat kecil ini, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka dan meningkatnya angka kemiskinan. Jika menilik data kemiskinan tahun 2006, di negara ini masih terlihat orang miskin sebanyak 39,05 juta jiwa. Dimana pada tahun 2007 jumlahnya tetap meningkat. Sedangkan memasuki tahun 2008 ini orang miskin masih belum luput dari permasalahan, mereka diperkiran akan meningkat jumlahnya mengingat melonjaknya harga barang-barang yang akrab dalam kesehariannya. Dari realita tahun 2005 dan 2006, pengaruh kenaikan harga barang-barang ini telah menyumbangkan terhadap angka kemiskinan dari 70, 54% menjadi 74,99% (BPS 2006).
Maka dengan kenaikan harga tempe, tahu dan minyak makan secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap angka kemiskinan. Apalagi, saat sekarang subsidi terhadap orang miskin tidak jelas keberadaannya, maka tahun 2008 diprediksikan orang miskin akan bertambah dari tahun sebelumnya. Di samping itu, dengan gulung tikarnya beberapa usaha tempe dan tahu, tentu juga menambah deretan angka pengangguran di negeri ini.
Orang miskin komoditi politik
Dari realitas yang dihadapi oleh orang miskin di negeri ini dapat dikatakan potret kehidupan sosial mereka masih suram. Mereka belum banyak ditenggarai oleh program-program yang mensejahterakan. Nasib mereka baru tersentuh dalam permainan kampanye partai politik. Seluruh partai politik yang ikut dalam pemilihan umum pasti menawarkan janji-janji manis yang menyulap perubahan nasib para kelompok yang dijuluki wong cilik ini. Nasib orang miskin terjebak dalam komoditi politik dan masih terperangkap dalam harapan-harapan yang semu. Mereka belum ada yang memperjuangkan untuk keluar dari kemiskinan. Dewa penyelamat orang miskin, hanya dirinya sendiri. Belum ada gebrakan yang signifikan nampak dari berbagai kalangan. Orang miskin di Indonesia, sangat memerlukan think tank yang merubah nasibnya, seperti yang tengah terjadi di Peru, di mana orang-orang miskin di negera tersebut sedang diperdayakan dengan sungguh-sungguh oleh seorang pemikir ekonomi yang bernama Hernando de Soto. Di Indonesia, orang miskin sedang menunggu sentuhan tangan yang sungguh-sungguh tersebut dan mereka sudah bosan berada dalam janji-jani politik.
Nasib orang miskin yang tidak kunjung berubah, mereka selalu dibebenai oleh kenaikan harga. Bahkan tempe dan tahu yang telah menjadi ikon konsumsi orang miskin harganya pun ikut terseret menyudutkan nasib mereka. Maka semakin lengkap penderitaan orang miskin di negeri ini. Yang tersisa bagi orang miskin adalah, sebuah harapan menjadi kenyataan, bagaimana mereka untuk dapat keluar dari ”pesakitan” hidup yang tidak berpihak pada mereka itu.
Orang-orang miskin sudah lelah menghadapi realitas yang serba tidak memberikan ”pengertian”. Dalam menghadapi pemilu tahun 2009, akankah orang-orang miskin yang lelah ini menjadi komediti politik? Secara pasti mereka akan tetap menjadi langganan komoditi kampanye oleh partai politik. Kapan potret buram orang miskin ini akan mampu dicut ? jawabannya tidak pasti, mengingat lambannya program pemerintah yang menyentuh mereka dan tidak adanya gebarakan yang signifikan dari berbagai kalangan.
Bahkan orang miskin, sering berada dalam lompatan program pemerintah yang gagal. Lihat misalnya, semenjak era orde baru telah dicoba mengentaskan kemiskinan dengan program Inspres Desa Tertinggal (IDT) hasilnya pun gagal dan tidak signifikan hanya menjadi projek pemerintah. Kemudian, memasuki era krisis moneter pengentasan kemiskinan dilakukan dengan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), nasibnya pun tidak jauh berbeda dengan IDT. Orang miskin hanya menjadi komunitas konsumtif dan tidak menjadi produktif. Kemudian pada era pemerintahan sekarang ini, orang miskin dipupuk dengan subsidi setengah hati. Dan pada awal pemerintahan SBY-Kalla orang miskin mendapat pembagian raskin (beras miski) dan uang lauk. Kemudian program ini menghadapi polemik, kerena pemberiannya banyak tidak tepat sasaran.

No comments: