catatan hati

Friday, April 11, 2008

POTRET PENDIDIKAN

KEKERASAN DI INSTITUSI PENDIDIKAN

Silfia Hanani

Akhir-akhir, kekerasan di institusi pendidikan menjadi gejala yang fenomenal dan hampir menunjukan satu trend. Tradisi chauvinistik nyaris menjadi bahagian di kalangan lembaga yang dihuni oleh kalangan terdidik.
Institusi pendidikan terseret dalam moralitas ”otot” yang cendrung melakukan resistensi (pembalasan) dengan kekerasan. Tradisi moralitas yang dibangun dengan sense ” nurani dan logika” terpinggirkan bahkan hanya menjadi jargon teoritik yang tidak terpraktekkan dan hanya tinggal dalam catata-catatan yang tidak terbaca, sehingga moralit dalam peradaban intelektual termarjinal.
Fenomena kekerasan itu dapat lihat dari tragedi anarkis yang berlangsung akhir-akhir ini dibeberapa institusi pendidikan di negeri ini, termasuk di Sumatera Barat sendiri. Kampus dan sekolah sudah doyan dengn tradisi ”amuk” ketimbang tradisi logis yang harmonis. Penyelesaian masalah sering dilakukan dengan jalan pintas ”amuk” kekerasan dengan merusak fasilitas pendidikan.
Seperti yang dialami oleh ”tragedi” Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan kemudian diikuti oleh anarkis di Universitas Nomansen. Di Sumatera Barat, kita juga pernah menyaksikan kekerasan, seperti yang terjadi di perguruan tinggi mantan IKIP. Kemudian diikuti oleh kekerasan intelektual yang mengentayangi sebuah perguruan tinggi berbasis Islam. Di Sulawesi juga mengambang kekerasan yang serupa di perguruan tinggi. Hal itu semua mencerminkan sebuah potret buruk dalam institusi pendidikan.

Potret kekalahan moralitas
Sesungguhnya, mencermati lebih jauh dan detil tentang fenomena kekerasan yang melanda di beberapa institusi pendidikan tersebut, ada satu indikasi dunia pendidikan kita tengah berada dalam dilema kekalahan moralitas. Anthony Giddens menilai, kekalahan moralitas ini sebagai akses dari ketidak berdayaan institusi dalam menjembatani komunitas untuk memaknai kehidupan. Kekalahan moralitas telah melahirkan dunia sosial yang sering clash atau berantam dengan nilai-nilai universal. Oleh sebab itu, dinamika sosial dalam era global ini selalu mencerminkan kontroversi atau paradok, seperti dikatakan oleh John Nasibitt, sehingga prediksi kita tentang peradaban global yang harmonis dan berdinamika sosial di atas moralitas ternyata hanya bayangan semua.
Kekerasan menjadi tradisi yang tidak terbendung dan tercegah oleh siapa saja. Sampai ke akar rumput kita menyaksikan kekerasan bahkan kekerasan itu telah menjadi seni berita di media massa.
Keruntuhan moral diikuti oleh ketidak berdayaan misi-misi pendidikan dan agama dalam menjembatani kehidupan manusia, seperti yang disinyalir oleh Ivan Illich dalam Celebration of awareness a call for institutional revolution (1969). Institusi pendidikan dan agama lebih banyak terbawa ke dalam ranah kepentingan, ketimbang dijadikan sebagai pemberdayaan manusia. Lihat misalnya, institusi pendidikan lebih terseret kedalam mesin pencetak uang ketimbang mesin pendidik yang membangun kesejatian manusia. Institusi pendidikan lebih dominan menjadi ladang bisnis yang melabrak esensi pendidikan itu sendiri. Begitu pula dengan ajaran agama, lebih banyak kita seret sebagai penjastifikasi atau pembenaran-pembenaran yang melumpuhkan logika dan nurani ketimbang kita jadikan sebagai aset yang membangun masa depan.

Kualitas yang terbengkalai
Di balik, tragedi-tragedi kekerasan itu institusi pendidikan di negeri ini juga tengah menghadapi permasalahan kualitas. Oleh sebab itu, tragedi-tragedi kekerasan yang terjadi hanya menambah kebangkurtan kualitas yang semakin kursial. Di pentas dunia, kualitas pendidikan perguruan tinggi kita masih terpuruk jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Jika dilihat dari data tahun 2006 menurut hasil survei Times Higher Education Supplement (THES), perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kumudian pada tahun 2007 menurut survei THES dari 3000 unversitas yang ada di dunia, ITB baru berhasil berada pada urutan 927 dan sekaligus menjadi universitas top di Indonesia.
Kualitas pendidikan di negeri ini masih terbengkalai dan masih banyak yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Oleh sebab terseretnya institusi pendidikan dalam tragedi-tragedi kekerasan ini akan memparah kualitas pendidikan di negeri ini.

No comments: