catatan hati

Saturday, May 3, 2008

MADRASAH

MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH
Selasa, 15 April 2008
Oleh : Silfia Hanani

Diskrimininasi Terhadap Madrasah sebanarnya bukanlah sebuah isu yang baru, tetapi isu lama yang tidak pernah teselesaikan sehingga madrasah berlarut-larut dalam masalahnya sendiri. Permasalahan ini sebagai akibat daripada adanya hegemoni kekuasaan, pertama terlihat melalui aturan main kurikulum madrasah yang “banci” dan kedua melalui pembiayaan madrasah yang bertendensi dikhotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum. Keadaan yang demikian menjadikan madrasah tumbuh dan berkembang ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam kondisi seperti ini, betulkah hegemoni kekuasaan dan dikhotomi kebijakan sebagai penyebab “runtuhnya” kualitas madrasah? Menjawab permasalahan ini perlu dilakukan pendekatan ruang-waktu, sehingga ditemukan varian-varian lain yang ikut dominan penyebab terperlesetnya mutu madrasah.
Di Indonesia sebelum madrasah populer telah berkembang institusi pendidikan Islam lokal yang independen. Di Minangkabau misalnya, telah muncul institusi pendidikan Islam surau, di pulau Jawa lebih populer pondok pesantren. Institusi pendidikan Islam lokal tersebut, telah berhasil memembangun sumber daya umat Islam pada zamannya. Tetapi ketika datangnya kolonialisme memperkenalkan sistem pendidikan modren, institusi lokal mulai buyar dan mulai dipandang sebagai institusi pendidikan kelas dua oleh masyarakat.
Setidaknya ada dua permasalahan yang membuyarkan, pertama pendidikan Islam lokal yang independen itu lebih bersifat tekstual, sementara alam kehidupan berkembang dengan begitu cepat, perkembangan itu selalu menuntut kearah penguasaan materialisme. Konsep penguasaan “materialisme” inilah yang kurang dalam institusi pendidikan Islam ketika itu. Fenomena yang demikian oleh kolonialisme dijelaskan dengan Islam ortodok, Umat Islam yang tidak mau memberikan ruang hidupnya kepada dimensi kompetisi dunia. Disinilah awal kekalahan teori pendidikan umat Islam dalam penguasaan dunia, sehingga dalam rentang waktu yang begitu mensejarah di negara ini tidak lahir teori-teori lokal yang berasaskan Islam tentang penguasaan material ini.
Akhirnya berpengaruh terhadap keberadaan sekolah agama. Sekolah agama diorientasikan sekolah “akhirat”, image semacam itu berkembang luas dalam masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan besar. Kedua, pengelolaan madrasah yang stagnan dan tidak mampu meracik sistem reinventing, sehingga madrasah lambat mengikuti perubahan masyarakat yang begitu cepat dan kompleks. Baru sekitar awal abad 19 setelah kembalinya para pelajar Indonesia menuntut ilmu di beberapa negara Timur Tengah termasuk di Mesir, institusi pendidikan Islam mulai diperbaharui dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Timur Tengah tersebut, sehingga madrasah menjadi populer. Madrasah berkembang di berbagai kawasan di Indonesia, di Sumatera Barat waktu itu ikon madrasah dipegang oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra dan Putri.
Namun setelah Indonesia merdeka, institusi-institusi pendidikan Islam ini memasuki dunia politik, pasang surut kualitas madrasah semakin tampak. Jati diri madrasah terombang ambing kedalam dua kepentingan yang tidak berkesudahan, antara kepentingan politik dan umat. Tarik menarik dua kepentingan ini, nampaknya ikut memberikan peluang tidak bergimingnya madrasah sebagai agent transformasi sosial umat Islam di Indonesia, sementara sekolah-sekolah umum yang modern semakin menampakkan jati dirinya seperti yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai penyelamat dunia material. Imege terhadap madrasah mulai berkurang, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum ketimbang ke madrasah.
Keadaan kualitas madrasah yang tidak stabil itu akahirnya masuk dalam cakrawala nasional, sehingga madrasah menjadi objek dalam sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itulah, terjadi perubahan-perubahan kurikulum dalam madrasah. Madrasah mulai menghadapi kurikulum keberimbangan, antara pendidikan umum dan pendidikan agama, kemudian dipercepatlah menjadi 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan agama, dengan tujuan untuk memicu lari mutu madrasah dan skaligus untuk menghilangkan stigma masyarakat yang memandang madrasah sebagai kelas pendidikan nomor dua. Dibalik pergerakan perubahan itu, apa sesungguhnya yang terjadi. Mutu madrasah tetap saja berjalan ditempat. Malah madrasah kehilangan jati dirinya sebagai institusi yang fokus dengan pendidikan Islam. Untuk mengkonter kondisi tersebut maka lahirlah madrasah khusus, terutama pada tingkat aliyah, yang fokus dengan pendidikan agama Islam. Namun, madrasah-madrasah yang setengah umum dan setengah agama tetap berada dalam muara kebingungan dan jati dirinya yang tidak jelas.

Membebaskan Madrasah
Menilik daripada perjalanan jatuh bangunnya madrasah dalam pentas pendidikan di Indonesia, sebuah kesimpulan yang perlu di bebaskan adalah kultur madrasah yang soft culture, yaitu adanya sebuah budaya kelemahkarsaan dalam membangun jati dirinya, sehingga madrasah terombang ambing dalam kecepatan perubahan yang terjadi. Sesungguhnya Departemen Agama yang pada umumnya sebagai pemilik madrasah sudah harus mempunyai ruang wacana yang konstruktif ke arah mana madrasah ini digiring sehingga madrasah mampu tampil dengan jati dirinya yang sesungguhnya, tidak bermain dalam “ikut-ikutan”, seperti yang terlihat selama ini. Permasalahan mutu, harus dilihat secara holistik, tidak hanya dilihat dari segi minimnya dana pendidikan yang dikucurkan pemerintah tetapi juga harus dilihat dari peta “dalam” yang berlaku dalam madrasah. Penglihatan peta dalam ini, yang paling urgen tentang bagaimana madrasah berkontestasi selama ini perlu dicerna oleh Depertemen Agama

1 comment:

DIWARMAN, S.Pd, M.Si. said...

My comment is : Keseimbangan ilmu dunia dan ilmu akhirat, inilah yang harus dilihat oleh banyak pihak terutama pemerintah. bgm buk......?

dewe_diwarman@yahoo.com
http://diwarman64.blogspot.com