catatan hati

Friday, November 14, 2008

SEBUAH CATATAN KEBIJAKAN DIKNAS SUMBAR
YANG TIDAK PROFESIONAL DAN CURANG

Oleh: Silfia Hanani

Kesungguhan Pemda Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Gubernur H. Gumawan Fauzi mendongkrak kualitas pendidikan Sumbar mungkin dapat dirasakan secara signifikan oleh beberapa dosen perguruan tinggi yang mendapatkan beasiswa dari Pemda untuk melanjutkan program Doktor di beberbagai perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun dalam negeri. Beasiswa Pemda yang dikelola pembahagiannya oleh Dinas Pendidikan Sumatera Barat ini menggiurkan dan jumlahnya cukup representatif untuk studi.
Beasiswa ini diluncurkan pada tahun 2006 dan berlanjut sampai sekarang. Pada tahun 2007 dan 2008 ini jumlah beasiswa untuk para calon doktor ini masing-masing mendapatkan 34 juta rupiah untuk satu tahun.
Tentu hal ini, sebagai langkah maju dan kesigapan dari pemda Sumbar untuk mewujudkan daerah ini ”ramai” oleh para Doktor, malah proyek ini selenting terdengan sebagai proyek 1000 Doktor, sebagai usaha untuk mewujudkan Sumbar locus industri otak yang cerdas, terbilang, cemerlang dan gemilang.
Upaya ini, juga dapat dipahami sebagai satu kemutlakkan untuk mewujudkan kemajuan daerah. Giddens menyebutkan, kemajuan satu bangsa atau daerah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang terdidik. Oleh sebab itu semakin banyak manusia yang mempunyai berpendidikan berkualitas di satu negara atau daerah maka semakin maju daerah tersebut. Hal ini sejalan dengan genderang pendidikan yang dikemukakan Ivan Illich, bahwa pendidikan merupakan ”alat” pembebasan keterbelengguan dari segala-galanya.
Di samping itu, dampak yang paling signifikan adalah akan terbangunnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi, karena tinggi atau rendahnya pendidikan pendidik akan berpengaruh terhadap mutu pembelajaran, sebagaimana terbukti dalam hasil penelitian Hattie bahwa mutu pembelajaran sangat ditentukan oleh pendidikan pendidik, sebanyak 63% pendidikan pendidik menyumbangkan pada kualitas pendidikan jika dibandingkan dengan variabel lainnya. Oleh sebab itu, untuk mencapai pendidikan yang berkualitas pendidikan pendidik harus menjadi salah satu komponen yang mesti diperhatikan.
Dengan demikian program beasiswa untuk program doktor ini, perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dan tidak berhenti dalam satu kepemimpinan, karena secara teoritik dan logis program ini menjadi aset berpotensi untuk membangun kualitas pendidikan dan kemajuan daerah. Oleh sebab itu, siapa saja yang memimpin Sumatera Barat harus melanjutkan program beasiswa ini.

Catatan “Keganjilan”
Sebagai sebuah kebijakan, maka program beasiswa ini harus dikelola dengan jelas dan tidak mengecewakan sehingga tujuannya tepat sasaran. Di samping itu, harus dikelola dengan perolehan data yang akurat, sesuai dengan peraturan yang digariskan tentang siapa-siapa yang berhak menerima beasiswa tersebut.
Saya menemukan satu “ketidak adilan” dan “keganjilan” dalam penerimaan beasiswa ini. Pada tahun 2006 saya merupakan salah seorang penerima beasiswa program doktor tersebut. Kemudian tahun 2007 sampai 2008 diputus tanpa pemberitahuan, setelah dijejaki dan bahkan sempat berkomunikasi dengan pengelola pihak Diknas, mengatakan saya sudah melebihi semester yang ditentukan. Jawaban ini sama dengan jawaban surat saya dari Pemda Sumbar yang ditanda tangani oleh setwilda Drs. H. Sultani Wirman. Jika itu sebuah kebijakan yang final saya terima dan saya dapat memakluminya. Tetapi kenyataanya, ada diantara penerima sama dan bahkan ada semesternya di atas saya mereka tetap menerima juga. Malahan yang sudah di wisuda juga menerima. Ini sebuah pencitraan kebijaikan yang tidak jelas. Inilah yang dinamakan kebijakan potong kompas error. Kebijakan seperti ini, mestinya tidak terjadi dalam era reformasi dan transparan seperti sekarang ini. Kebijakannya hendaklah konsisten dan bijak. Ini sebuah citra kebijakan yang busuk di era reformasi dan sangat “mengangkangi” arti reformasi.
Kebijakan-kebijakan yang seperti ini menurut Dwight H. Perkins bisa disebut sebagai kebijakan bunga api yang dapat melemahkan pengelolaan institusi dengan tata kelola hukum. Dampaknya, merapuhkan sebuah institusi. Hal ini yang disinggung oleh Myrdal, sebagai salah satu penyebab keterlambatan kebangkitan kesejahteraan di Asia. Keterbelakangan Asia bukan hanya disebabakan semata-mata oleh kekurangan modal, tetapi ditentukan pula oleh karakteristik orang Asia yang rendah disiplin kerja, suka hal-hal irasional, main dibelakang, menjawab persoalan tanpa data dan analisis, masih membudayakan jawaban Asal Bapak Senang (ABS).
Dari kasus yang saya temukan ini, ada satu keseimpulan bahwa, sebuah institusi masih sangat cendrung memperlakukan masyarakatnya dengan kebijakan-kebijakan yang semu dan sukar dimengerti. Hal serupa ini dapat membangkitkan tingginya ketidak percayaan publik terhadap lembaga yang mengaturnya, sekaligus membenarkan rendahnya efektivitas pemerintahan. Bank Dunia mencatat pada tahun 2005 efektifitas pemerintah di negara ini berada di bawah Vietnam

No comments: