catatan hati

Saturday, May 3, 2008

HARDIKNAS 2008

MEMECAHKAN MASALAH DUNIA PENDIDIKAN
Sabtu, 03 Mei 2008
Oleh : Silfia Hanani,
Dunia pendidikan di negara ini masih berada dalam potret yang buram dan masih tertinggal dari negara-negara tetangga. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan dari 55 negara yang diseurvei, Indonesia berada pada urutan 53.
Di samping itu, kualitas pendidikan tinggi Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Jika dilihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kumudian pada tahun 2007 menurut survei THES perguruan tinggi di Indonesia masih belum dapat meyangi pergurun tinggi seperti di Singapur, Thailand dan seterusnya.
Implikasi kualitas pendidikan rendah ini terhadap sumber daya manusia sangat jelas sekali. Kemampuan sumber daya manusia Indonesia jauh tertinggal, hal ini dapat dilihat dari hasil riset Ciputra yang menyatakan bahawa Indonesia hanya baru mempunyai 0,18% pengusaha dari jumlah penduduk sedangkan syarat untuk menjadi negara maju minimal 2% dari jumlah penduduk harus ada pengusaha. Saat sekarang singapur sudah mempunyai 7% dan Amerika Serikat 5% dari jumlah penduduk.
Dampak yang lain dari rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) Indonesia. Menurut laporan United Nation Development Programe/UNDP HDI pada tahun 2007 dari 177 negara yang dipulikasikan HDI Indonesia berada pada urutan ke-107. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Di kawasan ASEAN Indonesia menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN yang dipublikasikan. Peringkat teratas di ASEAN adalah Singapura dengan HDI 0,922, disusul Brunei Darussalam 0,894, Malaysia 0,811, Thailand 0,781, Filipina 0,771, dan Vietnam 0,733. Sedangkan Kamboja 0,598 dan Myanmar 0,583 berada di bawah HDI Indonesia.

Pemecahan Masalah
Akar permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tidak lagi berada pada satu faktor, tetapi digerogoti oleh berbagai faktor yang sudah komplikasi, sehingga membenahi dunia pendidikan di Indonesia perlu keseriusan yang tinggi dan strategi yang jenius. Kalau perlu mengikuti tawaran Ivan Illich dengan melakukan institutional revolution. Dalam konteks ini untuk memperbaiki dunia pendidikan minimal ada tiga modal yang harus menyentuh dunia pendidikan, yaitu modal sosial, kapital dan fisikal. Terpuruknya kualitas pendidikan di Indonesia tidak dapat disangkal sebagai akibat dari minamnya ketiga modal itu.
Pada era reformasi anggaran pendidikan telah ditetapkan 20 % daripada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Hal ini pun masih rendah jika dibandingkan dengan negara jiran Malaysia yang telah merealisasikan anggaran pendidikan 25% dari APBN negaranya. Wajar percepatan peningkatan kualitas pendidikan di negara tetangga ini lebih cepat jika dibandingkan dengan Indonesia. Pada sekitar tahun 1970 negara tetangga ini banyak mengimpor guru dari Indonesia.
Malahan dalam anggaran tahun 2008, terjadi pengurangan anggaran pendidikan yang mengejutkan. Semula menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, mentapkan anggaran pendidikan sebesar Rp 49,7 triliun. Namun berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-1/Mk.02/2008 pada 2 Januari 2008, anggaran pendidikan Indonesia mengalami pengurangan anggaran sebanyak 15, sehingga pada APBN 2008 pembiayaan pendidikan tinggal Rp 42,3 triliun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2007 yang berjumlah Rp 44,1 triliun.
Dampak yang signifikan dari rendahnya anggaran pendidikan ini adalah minimnya sarana yang mendukung kualitas pendidikan. Maka dengan penyusutan anggaran ini percepatan peningkatan kualitas pendidikan akan ikut terhalangi. Sarana-sarana penunjang pendidikan akan dapat diprediksikan berjalan di tempat. Salah satunya akan terlihat dari pengelolaan perpustakaan sekolah yang semakin memprihatinkan. Di Indonesia pernah dilaporkan dari 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP. Dari sekitar 70 ribu unit SLTP, cuma 36% yang memenuhi standar. Untuk SMU, cuma 54 % yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 % yang memenuhi standar.
Kondisi perpustakaan yang demikian, tidak dapat dihandalkan untu meningkatkan melek membaca siswa. Sementara di negara-negara maju dan beberapa negara tentangga sudah beralih pada melek informasi dan teknologi. Rendahnya melek memba tersebut sebagai salah satu hambatan dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil temuan riset International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) dalam tahun 1998-2001 ternyata dari 35 negara yang disurvei melek baca siswa Indonesia berada pada urutan yang terakhir. Pada tanggal 28 November 2007, IAEEA kembali mempublikasi hasil risetnya tentang minat baca anak di 41 negara, termasuk Indonesia. Hasilnya menunjukan bahwa minat baca di Indonesia masuk ke dalam kelompok negara belahan bumi bagian selatan bersama Selandia Baru dan Afrika Selatan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, semenjak tahun 1998 kebiasaan membaca anak-anak Indonesia berada pada peringkat paling rendah (skor 51,7). Skor ini di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0). Sedangkan BPS tahun 2006 mempublikasikan, membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan sebagai sumber utama untuk mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) dan membaca koran (23,5%). Rendahnya minat baca dikalangan siswa, secara langsung atau tidak langsung berpengaruhi terhadap kualitas sumber daya manusia, karena membaca secara signifikan dapat melahirkan kecakapan, cenderung memiliki intelegensi, penguasaan bahasa, dan keterampilan berkomunikasi (Cullinan & Bagert 1996). Oleh sebab itu, dinegara-negara maju pengembangan minat baca masyarakat sangat diperhatikan dan difasilitasi.
Disamping rendahnya anggaran pendidikan, ternyata profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas guru-guru Indonesia yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73 %, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. Rendahnya profesionalitas guru ini salah satu dipengaruhi oleh pendidikan guru yang belum memadai. Dari 2,7 juta orang guru di Indonesia hanya sepertiganya atau 35% saja yang berpendidikan S1. Sedangkan di Sekolah Dasar guru berpendidikan S1 baru sekitara 10% sedangkan menurut undang-undang no 14 tahun 2005 guru Sekolah Dasar harus S1.
Profesionalitas guru yang rendah ini menjadi sorotan dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Menteri pendidikan negara E-9 yang berlangsung di Bali pada bulan Maret yang lalu. Menurut analisis Chief Section for Teacher Education Division UNESCO, Caroline Pontefract, pada tahun 2015 tenaga guru yang akan dibutuhkan oleh negara-negara E-9 (Cina, India, Indonesia, Brasil, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Meksiko, dan Nigeria) mencapai 18 juta orang. Guru-guru ini harus mempunyai pendidikan formal minimal S1.
KTT ini telah meyakinkan kepada negara-negara yang berpenduduk terbesar di dunia, untuk mempercepat meningkat profesionalitas guru dengan meningkatkan pendidikan guru, karena bagaimana pun juga pendidikan guru sangat menentukan terhadap mutu pembelajaran. Seperti yang dikatakan oleh Hattie (2000) 63% mutu pembelajaran sangat ditentukan oleh pendidikan guru dan selebihnya baru oleh variabel-variabel lainnya. Oleh sebab itu, untuk mencapai pendidikan yang berkualitas pendidikan guru harus diperhatikan. Inilah diantara permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini bagaimana pun juga mesti capat di atasi, sehingga kualitas pendidikan yang tengah mati suri ini dapat bangkit dengan cepat

Menggagas Pendidikan Untuk Semua
Di balik potret kualitas pendidikan yang masih rendah ini, ternyata pemerintah juga belum mampu menciptakan pendidikan untuk semua. Biaya pendidikan yang semakin mahal ternyata telah memperpanjang deretan anak-anak tidak sekolah. Menurut hasil penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) jumlah anak putus sekolah di Indonesia mencapai 4,18 juta. Kemudian 8000 anak di bawah umur yang bekerja ternyata mengalami putus sekolah. Hal ini berarti pendidikan masih belum menyentuh ranah masyarakat miskin. Sekolah-sekolah tanpa biaya yang dilansir hanya baru menjadi komoditik politik waktu kampanye menjelang pemilu.
Pada tahun 2008, meningkatnya biaya hidup sementara pendapatan masyarakat masih tetap maka diprediksikan jumlah anak putus sekolah akan mengalami peningkatan dan mereka tidak bisa menyelesaikan kegiatan pendidikan sembilan tahun. Jika hal ini dibiarkan maka dimasa yang akan datang akan muncul generasi-generasi yang mempunyai sumber daya manusia yang rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia menghadapi persaingan global yang semakin menuntut kualitas sumber daya manusia.
Dampak yang paling signifikan dari anak-anak putus sekolah adalah rewannya mereka dieksplotasi dan diperdagangkan. Keadaan ini bisa dilihat dari jumlah pekerja anak yang selalu meningkat di Indonesia. ILO memaparkan bahwa sebanyak 19% anak yang dibawah usia 15 tahun yang tidak bersekolah telah memasuki berbagai dunua kerja. Tidak mengherankan diantaranya tereksplotasi dan termasuk diperdagangkan. Menurut Aris Merdeka Sirait Sekretaris Jenderal Komnas Anak, sekitar 200 sampai 300 anak perempuan berusia di bawah 18 tahun di Indonesia telah diperjual belikan untuk memenuhi kebutuhan industri seks.
Sebuah resiko yang sangat fenomelogis, jika pendidikan di Indonesia tidak dapat menyentuh semua kalangan. Untuk membangun sumber daya manusia di Indonesia pemerintah harus menyakian pendidikan yang mampu diakses oleh semua kalangan, sehingga anak-anak bangsa ini tidak mengalami putus sekolah. Terimakasih. Selamat Hardiknas. (***)

1 comment:

SembarangKlik.Com said...

Mantaaap sangat, Sil.. Kita pengen baca juga di facebook pikiran2 hebat macam ni. Oke, Sukses taruih....!!!!
(SembarangKlik.Com di www.ocesatria.blogspot.com)